Ahad, 5 Mei 2019

24 Hadis VIRAL RAMADHAN

24 Hadis Dhaif dan palsu bulan Ramadan

.
Artikel www.muslim.or.id memetik: Keperluan SANAD Islam adalah agama yang ilmiah. Setiap amalan, keyakinan, atau ajaran yang disandarkan kepada Islam harus memiliki dasar dari Al Qur’an dan Hadits Nabi shallallahu’alaihi wa sallam yang otentik. Dengan ini, Islam tidak memberi celah kepada orang-orang yang beritikad buruk untuk menyusupkan pemikiran-pemikiran atau ajaran lain ke dalam ajaran Islam. Karena pentingnya hal ini, tidak heran apabila Abdullah bin Mubarak rahimahullah mengatakan perkataan yang terkenal: “Sanad adalah bagian dari agama. Jika tidak ada sanad, maka orang akan berkata semaunya.” (Lihat dalam Muqaddimah Shahih Muslim, Juz I, halaman 12)
Dengan adanya sanad, suatu perkataan tentang ajaran Islam dapat ditelusuri asal-muasalnya.

Oleh karena itu, penting sekali bagi umat muslim untuk memilah hadits-hadits, antara yang shahih dan yang dhaif, agar diketahui amalan mana yang seharusnya diamalkan karena memang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam serta amalan mana yang tidak perlu dihiraukan karena tidak pernah diajarkan oleh beliau.

Berkaitan dengan bulan Ramadhan yang penuh berkah ini, akan kami sampaikan beberapa hadits lemah dan palsu mengenai puasa yang banyak tersebar di masyarakat. Untuk memudahkan pembaca, kami tidak menjelaskan sisi kelemahan hadits, namun hanya akan menyebutkan kesimpulan para pakar hadits yang menelitinya. Pembaca yang ingin menelusuri sisi kelemahan hadits, dapat merujuk pada kitab para ulama yang bersangkutan.

TINGGALKAN PERBUATAN MENYEBAR HADIS PALSU:

Barangsiapa yang dengan sengaja berdusta ke atas aku, maka tersedialah baginya tempat duduk dari api neraka. [Hadis Sahih (Mutawattir): Dikeluarkan Imam al-Bukhari, Imam Muslim, Ibn Majah, ad-Darimi dan lain-lain. Lihat Sahih al-Bukhari, hadis no – 109 (Kitab al-Ilm, Bab dosa berdusta keatas Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam). Dikeluarkan Imam Muslim di dalam Sahih Muslim, hadis no – 3 dan 4 (Muqaddimah - Bab berdusta keatas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam).]
Barangsiapa yang menceritakan dariku satu hadis yang ia sangka, sesungguhnya hadis tersebut dusta/palsu, maka ia termasuk salah seorang dari para pendusta. [ Hadis Sahih: Dikeluarkan Muslim, Ibnu Majah, Tirmidzi, Ahmad. Lihat Muqaddimah Sahih Muslim. Lihat juga Musnad Ahmad (Hadis Daripada Samuroh Bin Jundud radhiallahu ‘anh) dengan lafaz yang sedikit berbeza.]

Artikel DrRozaimiRamle @facebook.com memetik: Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Janganlah berdusta menggunakan diri ku, sesungguhnya sesiapa yang berdusta menggunakan diri ku nescaya akan masuk neraka [hadis no:2]
Sesiapa yang dengan sengaja berdusta menggunakan diri ku, maka dia menempah tempat duduk dalam neraka [hadis no: 4]
Cukuplah seseorang dianggap berdusta apabila dia menyampaikan setiap apa yang dia dengar [hadis no: 7]

Terdapat banyak lagi riwayat yang disebutkan oleh Imam Muslim dalam Muqadimah Sahihnya. Ini hanyalah sebahagian kecil sahaja.
Hadis-hadis melarang berdusta atas nama Nabi sallallahu 'alaihi wa sallam atau mereka-reka hadis adalah mutawatir. Ia merupakan dosa besar. Kita tidak perlukan hadis palsu ini.
Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam: Barangsiapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja, maka hendaknya dia mempersiapkan tempat duduknya di neraka.” [Muttafaqun ‘Alaihi dari shahabat Abu Hurairah, Al-Mughirah bin Syu’bah, dan yang lainnya]

SENARAI HADIS

Bagi memudahkan rujukan penulis membuat senarai rengkas, tapi kesimpulan menghukum hadis itu penulis memohon maaf jika kefahaman penulis Khilaf, sila rujuk teks asal.
Hadis 1: Bulan umat: Dhaif Jiddan
Hadis 2: Kelebihan Ramadan, a) Bulan yang baik, Dhaif, b) Ibadah sunah seolah olah ibadah wajib. Ibadah wajib diganda 70 kali (lemah). c) Bulan kesabaran dan tolong menolong. D) Memberi makan, Juga dalam hadis 9. e) Terbahagi 3 bahagian. Juga dalam hadis 4
Hadis 3: Panggilan Bulan Ramadhan, Dhaif
Hadis 4: Mengharap ramadan sepanjang tahun:  Maudhuk
Hadis 5: Ramadhan terbahagi 3: Dhaif/munkar
Hadis 6: Tidur orang puasa ibadah. Daif
Hadis 7: Batal puasa, Palsu
Hadis 8: Puasa itu sihat, Dhaif
Hadis 9: Memberi makan orang berpuasa, Dhaif
Hadis 10: Jihad melawan nafsu, Palsu
Hadis 11: Doa rejab saaban, lemah
Hadis 12: Zakat fitrah, Dhaif.
Hadis 13: Doa Jibril dipalsukan ada sanad sahih.
Hadis 14: Ganjaran puasa dan tarawih, a) puasa b) Fadilat tarawih 30 malam
Hadis 15: Keutamaan iktikaf, Dhaif.
Hadis 16: Doa berbuka, palsu. juga ada hadis sahih dan fatwa membolehkan keduanya.
Hadis 17: Mengganti puasa, lemah juga ada fatwa
Hadis 18: Kebebasan dari azab dusta
Hadis 19: 5 perangai a) bau mulut  juga dalam hadis 21. b) ikan meminta ampun… dhaif jiddan
Hadis 20: Bercelak, tidak kuat.
Hadis 21: Bersiwak, lemah sementara bau mulut sanad yang baik
Hadis 22: Salam Aied dhaif
Hadis 23: Zakat Badan dhaif.
Hadis 24: Bulan kesabaran dan kesucian daif, juga ada hadis sahih.

Hadis 1: Bulan Umat

Artikel 8 www.muslim.or.id memetik: Bulan Umatku
 Rajab adalah bulan Allah, Sya’ban adalah bulanku, dan Ramadhan adalah bulan umatku.” Hadits ini diriwayatkan oleh Adz Dzahabi dalam Tartibul Maudhu’at (162,183), Ibnu Asakir dalam Mu’jam Asy Syuyukh (1/186).

Hadits ini didhaifkan oleh Asy Syaukani dalam Nailul Authar (4/334), dan Al Albani dalam Silsilah Adh Dhaifah (4400). Bahkan hadits ini dikatakan hadits palsu oleh banyak ulama seperti Adz Dzahabi dalam Tartibul Maudhu’at (162, 183), Ash Shaghani dalam Al Maudhu’at (72), Ibnul Qayyim dalam Al Manaarul Munif (76), Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Tabyinul Ujab (20).

Artikel 2 darussalaf.or.id memetik: Bulan umat
 Rajab adalah bulan Allah, Sya’ban adalah bulanku, dan Ramadhan adalah bulan umatku.” Hadits ini adalah hadits yang didustakan (palsu) atas nama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

Dalam sanadnya terdapat rawi yang bernama Abu Bakr An-Naqqasy. Tentang rawi yang satu ini, para ulama telah menjelaskan keadaannya, di antaranya:

Thalhah bin Muhammad Asy-Syahid mengatakan bahwa Abu Bakr An-Naqqasy suka memalsukan hadits, dan kebanyakannya tentang kisah-kisah.
Abul Qasim Al-Lalika’i mengatakan bahwa tafsir dari Abu Bakr An-Naqqasy justru akan mencelakakan hati, tidak menjadi obat bagi hati-hati ini.
Dan di dalamnya juga terdapat rawi yang bernama Al-Kisa’i yang dikatakan oleh Ibnul Jauzi sebagai rawi yang majhul (tidak dikenal).

Hadits ini diriwayatkan oleh Abul Fath bin Al-Fawaris dalam Al-Amali dari Al-Hasan Al-Bashri secara mursal.

Al-Hafizh Al-’Iraqi mengatakan dalam Syarh At-Tirmidzi: “Ini adalah hadits dha’if jiddan (sangat lemah), dan dia termasuk hadits-hadits mursal yang diriwayatkan dari Al-Hasan (Al-Bashri), kami meriwayatkannya dari Kitab At-Targhib Wat Tarhib karya Al-Ashfahani, hadits-hadits mursal yang diriwayatkan dari Al-Hasan (Al-Bashri) tidak bernilai (shahih) menurut Ahlul Hadits, dan tidak ada satu hadits pun yang menyebutkan tentang keutamaan bulan Rajab.”

Ibnul Jauzi dalam kitabnya Al-Maudhu’at [II/117], Adz-Dzahabi dalam Tarikhul Islam [I/2990], dan Asy-Syaukani dalam Al-Fawa’id Al-Majmu’ah [hal. 95] menghukumi bahwa hadits ini adalah hadits palsu, didustakan atas nama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Lihat Lisanul Mizan [VI/202] karya Ibnu Hajar.

Hadis 2: Kelebihan Ramadhan

Artikel 8 almanhaj.or.id memetik: bulan lebih baik
Tidak ada bulan yang datang kepada kaum Muslimin yang lebih baik daripada Ramadhân. dan tidak datang kepada kaum Munafiqin bulan yang lebih buruk daripada bulan Ramadhân”.

Hadits ini dha’if. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad rahimahullah (2/330, dalam Fathurrabbani, 9/231-232), Ibnu Khuzaimah, no. 1884 dan lain-lainnya. Semua riwayat ini melalui jalur periwayatan Katsîr bin Zaid rahimahullah dari Amr bin Tamim dari bapaknya dari Abu Hurairah secara marfu’

Al-Haitsami rahimahullah dalam kitabnya Majma’uz Zawâid, 3/140-141 mengatakan, “Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad rahimahullah dan Thabrani rahimahullah dalam kitabnya al-Ausath dari Tamîm dan aku tidak menemukan riwayat hidup Tamîm.” Maksudnya Tamîm (bapaknya Amr) seorang perawi yang majhûl.

Dalam kitab Mizânul I’tidâl, 3/249, adz Dzahabi rahimahullah mengatakan, “Amr bin Tamim dari bapaknya dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu tentang keutamaan bulan Ramadhân. Dan dari Amr, hadits ini diriwayatkan oleh Katsîr bin Zaid. Tentang Amr bin Tamim, Imam Bukhâri rahimahullah mengatakan, ‘Haditsnya perlu diteliti (Fi hadîtsihi nazhar).”

Ini adalah salah satu istilah Imam Bukhâri dalam mengkritik dan menerangkan cacat perawi yang sangat halus akan tetapi makna dan maksudnya dalam sekali. Apabila Imam Bukhâri mengatakan, “Fiihi nazhar atau fi haditsihi nazhar, maka perawi itu derajatnya lemah atau bahkan sangat lemah.”

Artikel 3 darussalaf.or.id memetik: kelebihan Ramadhan Albaihaqi

 Wahai sekalian manusia, sungguh hampir datang kepada kalian bulan yang agung dan penuh barakah, di dalamnya terdapat satu malam yang lebih baik daripada 1000 bulan, Allah wajibkan untuk berpuasa pada bulan ini, dan Allah jadikan shalat pada malam harinya sebagai amalan yang sunnah, barangsiapa yang dengan rela melakukan kebajikan pada bulan itu, maka dia seperti menunaikan kewajiban pada selain bulan tersebut …, dan dia merupakan bulan yang awalnya adalah kasih sayang, pertengahannya adalah ampunan, dan akhirnya adalah pembebasan dari api neraka.”

Hadits ini adalah hadits munkar, dikeluarkan oleh Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya [III/191], dan beliau mengatakan: “Jika haditsnya shahih.” Maksud ungkapan ini adalah bahwa Al-Hafizh Ibnu Khuzaimah ragu (tidak memastikan) penshahihan hadits ini karena derajat sanadnya yang rendah (tidak sampai derajat shahih), maka jangan ada seorangpun yang mengira bahwa hadits ini shahih menurut Ibnu Khuzaimah. Lihat Tadribur Rawi [I/89] karya As-Suyuthi.

Hadits ini juga dikeluarkan oleh Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman [III/305], Al-Harits bin Usamah dalam Musnadnya [I/412], dan yang lainnya.

Di dalam sanadnya terdapat rawi yang bernama ‘Ali bin Zaid bin Jud’an yang dikatakan oleh para ulama, di antaranya:

Ibnu Khuzaimah mengatakan bahwa dia tidak boleh dijadikan hujjah karena jeleknya hafalan dia.
Al-Bukhari mengatakan bahwa dia tidak boleh dijadikan hujjah.

Di dalam sanadnya juga terdapat rawi yang bernama Iyas bin Abi Iyas yang dikatakan oleh para ulama, di antaranya:
Adz-Dzahabi mengatakan bahwa dia adalah rawi yang tidak dikenal.
Al-’Uqaili mengatakan bahwa dia adalah rawi yang majhul (tidak dikenal) dan haditsnya tidak mahfuzh (yakni syadz/ganjil).
Abu Hatim mengatakan: “Ini adalah hadits Munkar.” (Al-’Ilal karya Ibnu Abi Hatim [I/249]). Lihat Lisanul Mizan [II/169] karya Ibnu Hajar, As-Siyar [V/207] karya Adz-Dzahabi, dan As-Silsilah Adh-Dha’ifah [II/262] karya Asy-Syaikh Al-Albani.

Artikel 3 www.muslim.or.id memetik: Kelebihan Ramadhan Khuzaimah
Wahai manusia, bulan yang agung telah mendatangi kalian. Di dalamnya terdapat satu malam yang lebih baik dari 1,000 bulan. Allah menjadikan puasa pada siang harinya sebagai sebuah kewajiban, dan menghidupkan malamnya sebagai ibadah tathawwu’ (sunnah). Barangsiapa pada bulan itu mendekatkan diri (kepada Allah) dengan satu kebaikan, ia seolah-olah mengerjakan satu ibadah wajib pada bulan yang lain. Barangsiapa mengerjakan satu perbuatan wajib, ia seolah-olah mengerjakan 70 kebaikan di bulan yang lain.

Ramadhan adalah bulan kesabaran, sedangkan kesabaran itu balasannya adalah surga. Ia (juga) bulan tolong-menolong. Di dalamnya rezki seorang mukmin ditambah.

Barangsiapa pada bulan Ramadhan memberikan hidangan berbuka kepada seorang yang berpuasa, dosa-dosanya akan diampuni, diselamatkan dari api neraka dan memperoleh pahala seperti orang yang berpuasa itu, tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa tadi sedikitpun” Kemudian para sahabat berkata, “Wahai Rasulullah, tidak semua dari kita memiliki makanan untuk diberikan kepada orang yang berpuasa.”

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam berkata, “Allah memberikan pahala tersebut kepada orang yang memberikan hidangan berbuka berupa sebutir kurma, atau satu teguk air atau sedikit susu.

Ramadhan adalah bulan yang permulaannya rahmat, pertengahannya maghfirah (ampunan) dan akhirnya pembebasan dari api neraka.”

Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah (1887), oleh Al Mahamili dalam Amaliyyah (293), Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil Fid Dhu’afa (6/512), Al Mundziri dalam Targhib Wat Tarhib (2/115)

Hadits ini didhaifkan oleh para pakar hadits seperti Al Mundziri dalam At Targhib Wat Tarhib (2/115), juga didhaifkan oleh Syaikh Ali Hasan Al Halabi dalam Sifatu Shaumin Nabiy (110),

bahkan dikatakan oleh Abu Hatim Ar Razi dalam Al ‘Ilal (2/50) juga Al Albani dalam Silsilah Adh Dhaifah (871) bahwa hadits ini Munkar.

Penjelasan: sebenarnya di seluruh waktu di bulan Ramadhan terdapat rahmah, seluruhnya terdapat ampunan Allah dan seluruhnya terdapat kesempatan bagi seorang mukmin untuk terbebas dari api neraka, tidak hanya sepertiganya. Salah satu dalil yang menunjukkan hal ini adalah: Orang yang puasa Ramadhan karena iman dan mengharap pahala, akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Bukhari no.38, Muslim, no.760)

Dalam hadits ini, disebutkan bahwa ampunan Allah tidak dibatasi hanya pada pertengahan Ramadhan saja. Lebih jelas lagi pada hadits yang diriwayatkan oleh At Tirmidzi,

Rasulullah bersabda: Pada awal malam bulan Ramadhan, setan-setan dan jin-jin jahat dibelenggu, pintu neraka ditutup, tidak ada satu pintu pun yang dibuka. Pintu surga dibuka, tidak ada satu pintu pun yang ditutup. Kemudian Allah menyeru: ‘wahai penggemar kebaikan, rauplah sebanyak mungkin, wahai penggemar keburukan, tahanlah dirimu’.  Allah pun memberikan pembebasan dari neraka bagi hamba-Nya. Dan itu terjadi setiap malam” (HR. Tirmidzi 682, dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih At Tirmidzi)

Penjelasan: Adapun mengenai apa yang diyakini oleh sebagian orang, bahwa setiap amalan sunnah kebaikan di bulan Ramadhan diganjar pahala sebagaimana amalan wajib, dan amalan wajib diganjar dengan 70 kali lipat pahala ibadah wajib diluar bulan Ramadhan, keyakinan ini tidaklah benar berdasarkan hadits yang lemah ini. Walaupun keyakinan ini tidak benar, sesungguhnya Allah ta’ala melipat gandakan pahala amalan kebaikan berlipat ganda banyaknya, terutama ibadah puasa di bulan Ramadhan.

Hadis 3: Panggilan Ramadhan

Artikel 6 www.muslim.or.id memetik:  Panggilan Ramadhan
Jangan menyebut dengan ‘Ramadhan’ karena ia adalah salah satu nama Allah, namun sebutlah dengan ‘Bulan Ramadhan.'”

Hadits ini diriwayatkan oleh Al Baihaqi dalam Sunan-nya (4/201), Adz Dzaahabi dalam Mizanul I’tidal (4/247), Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil Fid Dhu’afa (8/313), Ibnu Katsir dalam Tafsir-nya (1/310).

Ibnul Jauzi dalam Al Maudhuat (2/545) mengatakan hadits ini palsu. Namun, yang benar adalah sebagaimana yang dikatakan oleh As Suyuthi dalam An Nukat ‘alal Maudhuat (41) bahwa “Hadits ini dhaif, bukan palsu”. Hadits ini juga didhaifkan oleh Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil Fid Dhu’afa (8/313), An Nawawi dalam Al Adzkar (475), oleh Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Fathul Baari (4/135) dan Al Albani dalam Silsilah Adh Dhaifah (6768).

Yang benar adalah boleh mengatakan ‘Ramadhan’ saja, sebagaimana pendapat jumhur ulama karena banyak hadits yang menyebutkan ‘Ramadhan’ tanpa ‘Syahru (bulan)’.

Hadis 4: Ramadhan sepanjang tahun

Artikel 7 almanhaj.or.id memetik: mengharap Ramadhan ibnu khuzaimah
 “Sekiranya manusia mengetahui apa yang ada pada buan Ramadhân, niscaya semua umatku berharap agar Ramadhân itu sepanjang tahun”.

Maudhu’. Ini diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah rahimahullah, no. 1886 lewat jalur periwayatan Jarîr bin Ayyûb al Bajali, dari asy-Sya’bi dari Nâfi’ bin Burdah, dari Abu Mas’ud al-Ghifari ia mengatakan, “Suatu hari, aku mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, “(lalu beliau menyebutkan hadits diatas).

Imam Ibnul Jauzi rahimahullah membawakan hadits di atas dalam kitab beliau rahimahullah al-Maudhû’ât, 2/189 lewat jalur periwayatan Jarîr bin Ayyûb al Bajali dari Sya’bi dari Nâfi’ bin Burdah dan Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu. kemudian beliau rahimahullah mengatakan, “Hadits ini maudhû’ (palsu) dipalsukan atas nama Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Orang yang tertuduh telah memalsukan hadits ini adalah Jarîr bin Ayyûb.

Yahya rahimahullah mengatakan, ‘Orang-orang ini tidak ada apa-apanya (laisa bi syai-in).’
Fadhl bin Dukain rahimahullah mengatakan, ‘Dia termasuk orang yang biasa memalsukan hadits.’
An-Nasa’i dan Daru Quthni rahimahullah mengatakan, ‘Matrûk (orang yang haditsnya tidak dianggap).'”
Imam Syaukani rahimahullah dalam kitab al-Fawâ-idul Majmû’ah Fil Ahâdîtsil Maudhû’ah, no. 254 mengomentari hadits diatas, “Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Ya’la rahimahullah lewat jalur Abdullah bin Mas’ûd Radhiyallahu ‘anhu secara marfuu. Hadits ini maudhû (palsu). Kerusakannya ada pada Jarîr bin Ayyûb dan susunan lafazhnya merupakan susunan yang bisa dinilai oleh akal bahwa itu adalah hadits palsu.’

Artikel 1 darussalaf.or.id memetik: mengharap Ramadan ibnu khuzaimah
Kalau seandainya hamba-hamba itu tahu apa yang ada pada bulan Ramadhan (keutamaannya), maka niscaya umatku ini akan berangan-angan bahwa satu tahun itu adalah bulan Ramadhan seluruhnya.”

Hadits ini adalah hadits yang didustakan atas nama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam (palsu).

Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya [III/190], Abu Ya’la Al-Mushili dalam Musnadnya [IX/180], dan selain keduanya.

Di dalam sanadnya terdapat rawi yang bernama Jarir bin Ayyub. Tentang rawi yang satu ini, para ulama telah menjelaskan keadaannya, di antaranya:
Abu Nu’aim Al-Fadhl bin Dukain mengatakan bahwa dia suka memalsukan hadits.
Al-Bukhari, Abu Hatim, dan Abu Zur’ah mengatakan bahwa dia adalah Munkarul Hadits.
Ibnu Khuzaimah mengatakan: “Jika haditsnya shahih …”
Ibnul Jauzi dalam kitabnya Al-Maudhu’at [II/103] dan juga Asy-Syaukani dalam Al-Fawa’id Al-Majmu’ah [hal. 74] menghukumi dia (Jarir bin Ayyub) adalah perawi yang suka memalsukan hadits -yakni pendusta. Lihat Lisanul Mizan [II/302] karya Ibnu Hajar.

Artikel 7 belajarislam.com memetik: sepanjang tahun khuzaimah
Dari Abu Mas’ud Al Ghifari radhiyallohu anhu berkata: “Saya telah mendengar Rasulullah shallallohu alaihi wasallam bersabda pada suatu hari ketika bulan Ramadhan telah datang: “Seandainya para hamba mengetahui apa (hakikat) bulan Ramadhan maka tentu ummatku menginginkan Ramadhan itu sepanjang tahun,… sesungguhnya surga berhias untuk bulan Ramadhan di setiap penghujung tahun ke tahun berikutnya …..”

[HR Ibnu Khuzaimah dalam shohihnya (1886), Ibnul Jauzi dalam kitab Al Maudhu’at (2/547) dan Abu Ya’la dalam Musnadnya sebagaimana yang disebutkan dalam Al Mathalib Al Aliyah]

Penjelasan: Para Imam tersebut meriwayatkan hadits ini dari jalur Jarir bin Ayyub Al Bajali dari Sya’bi dari Nafi’ bin Burdah dari Abu Mas’ud Al Ghifari. Kedudukan hadits ini palsu, penyebabnya adalah Jarir bin Ayyub; Ibnu Hajar menyebutkan dalam Lisanul Mizan (2:101) bahwa dia terkenal akan kelemahannya, kemudian beliau menukil perkataan Abu Nu’aim tentangnya bahwa dia pernah memalsukan hadits. Bukhori berkata: Munkarul Hadits dan Nasai mengatakan: Matruk (ditinggalkan). Ibnu Jauzi juga menilai hadits ini sebagai hadits yang palsu. Ibnu Khuzaimah sendiri meragukannya sehingga beliau berkata: “Jika hadits ini benar karena hati ini meragukan Jarir bin Ayyub Al Bajali”

Hadis 5: Ramadhan terbahagi 3

Artikel abuanasmadani.blogspot.com memetik: Hadis Ramadhan 3 Bahagian.
Adapun para muhaddis yang mempermasalahkan riwayat ini antara lain:
1. Imam As-Suyuthi. Beliau mengatakan bahwa hadis ini dhaif (lemah periwayatannya). [Al-Jami’ Al-Saghir]
2. Syeikh Al-Albani. Beliau mengatakan bahwa riwayat ini statusnya munkar.

Jadi sebenarnya antara keduanya tidak terjadi pertentangan. Hadis munkar sebebarnya termasuk ke dalam jajaran hadis dhaif juga. Sebagai hadis munkar, dia menempati urutan ketiga setelah hadis matruk (semi palsu) dan maudhu' (palsu). [Lihat: Dhaif Al-Jami’ Al-Saghir, No. 2135 “Dhaif Jiddan’]

Sementara sanadnya adalah: 1. Sallam bin Sawwar. 2. dari Maslamah bin Shalt. 3. dari Az-Zuhri. 4. dari Abu Salamah. 5. dari Abu Hurairah. 6. dari Nabi SAW.

Dari rangkaian para perawi di atas, perawi yang pertama dan kedua bermasalah. Yaitu Sallam bin Sawwar dan Maslamah bin Shalt. Sallam bin Sawwar disebut oleh Ibnu Ady, seorang kritikus hadis, sebagai munkarul hadis. Sedangkan oleh Imam Ibnu Hibban, dikatakan bahwa hadisnya tidak boleh dijadikan hujjah (pegangan), kecuali bila ada rawi lain yang meriwayatkan hadisnya. Perkataan Ibnu Hibban ini disebut dalam kitab Al-Majruhin.

Sedangkan Maslamah bin Shalt adalah seorang yang matruk, sebagaimana komentar Abu Hatim. Secara etimologis, matruk berarti ditinggalkan. Sedangkan menurut terminologi hadis, hadis matruk adalah hadis yang dalam sanadnya ada rawi yang pendusta. Dan hadis matruk adalah 'adik' dari hadis maudhu' (palsu).

Bezanya, kalau hadis maudhu' itu perawinya adalah seorang pendusta, sedangkan hadis matruk itu perawinya sehari-hari sering berdusta. Kira-kira hadis matruk itu boleh dikira semi maudhu'.

Kesimpulan: Kesimpulannnya, hadisi ini punya dua gelaran.
Pertama, gelarannya adalah hadis munkar kerana adanya Sallam bin Sawwar.
Gelaran kedua adalah hadis matruk kerana adanya Maslamah bin Shalt.

Ulasan Dr. Uzar: Jawapan yang diberi adalah benar, Hadith tersebut adalah tidak kuat dan elok tidak dijadikan bahan ceramah, atau jika ingin pun, diletakkan dihujung-hujung dan disebut jelas ia adalah hadis yang diragui.

Memang benar, terdapat hadis lain seperti yang diriwayatkan oleh Ibn Khuzaymah dalam kitab sohihnya, tetapi beliau sendiri meraguinya apabila menyebut di awal bab itu, إن صح الخبر Ertinya: "Jika sohih khabar ini" (Rujuk ibn Khuzaymah)

Imam Ibn Hajar al-Hathami memberi komentar setelah membawakan hadis panjang lebar yang mengandungi maksud petikan hadis pendek tadi, berkata: "Tentang sanadnya, terdapat mereka yang mensohihkannya, dan mengganggapnya hasan seperti Imam Tirmidzi, tetapi ia dianggap lemah orang ulama selain mereka, Ibn khuzaymah menyebutnya dalam kitab sohihnya tetapi diakhiri dengan katanya: Sekiranya Sohih" (Az-Zawajir, Ibn Hajar Al-haithami, 1/384)

Tidaklah hairan mengapa para penceramah dan sebahagian ulama kerap menggunakannya, ini adalah kerana hadis ini memang terdapat dalam agak banyak kitab-kitab arab silam samada Fiqh dan hadis tanpa dijelaskan kedudukan dan taraf kekuatannya, antaranya seperti berikut:

1) I'anah at-Tolibin, 2/255; 2) Tabyin al-haqaiq, 1/179; 3) Syarah Faidhul Qadir, 1/469;
4) Targhib wa at-tarhib, 2/58.

Artikel abuanasmadani.blogspot.com memetik: Ramadhan terbahagi 3
Bulan Ramadhan adalah bulan yang mulia, penuh berkat. Perkara ini sangat jelas dalam al-Quran dan hadis-hadis Rasulullah saw yang sahih. Perbincangan di sini ialah mengenai kedudukan hadis di bawah ini;

"Bulan Ramadhan, awalnya rahmah, tengah-tengahnya maghfirah dan akhirnya adalah pembebasan dari neraka".

Menurut ulama’ hadis, dalil pembahagian Ramadhan menjadi tiga ini dhaif (lemah). Padahal hadis itu popular sekali di tengah bulan Ramadhan, disebut oleh penceramah dan pentazkirah.

Menurut Al-Ustaz Prof. Ali Mustafa Ya'qub, MA: Hadis itu memang bermasalah dari segi periwayatannya. Sebenarnya hadis ini diriwayatkan tidak hanya melalui satu jalur saja, namun ada dua jalur. Sayangnya, menurut beliau, kedua jalur itu tetap saja bermasalah. Mendhaifkan Jalur Pertama:

Salah satu jalur periwayatan hadisi ini versinya demikian:
Hadis ini diriwayatkan oleh Al-'Uqaili dalam kitab khusus tentang hadis dha'if dalam ‘Adh-Dhu'afa'. Juga diriwayatkan oleh Al-Khatib Al-Baghdadi dalam kitabnya Tarikh Baghdad. Serta diriwayatkan juga oleh Ibnu ‘Adiy, Ad-Dailami, dan Ibnu ‘Asakir. Mereka Yang mendhaifkan.

Artikel 3 almanhaj.or.id memetik: RAMADHAN DIBAGI TIGA
Awal bulan Ramadhân itu adalah rahmat, tengahnya adalah maghfirah (ampunan) dan akhirnya merupakan pembebasan dari api neraka: [HR Ibnu Abi Dunya, Ibnu Asâkir, Dailami dan lain-lain lewat jalur periwayatan Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu]

Hadits ini sangat lemah. lihat kitab Dha’if Jâmi’is Shagîr, no. 2134 dan Faidhul Qadîr, no. 2815

Artikel almanhaj.or.id memetik: hadis panjang khuzaimah

Hadits lemah yang senada dengan hadits diatas iaitu:
Dari Salmân al-Fârisi Radhiyallahu ‘anhu, dia mengatakan, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkhutbah dihadapan kami pada hari terakhir bulan Sya’bân. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Wahai manusia, sungguh bulan yang agung dan penuh barakah akan datang menaungi kalian, bulan yang di dalamnya terdapat satu malam yang lebih baik dari 1000 bulan. Allâh Subhanahu wa Ta’ala menjadikan puasa (pada bulan itu) sebagai satu kewajiban dan menjadikan shalat malamnya sebagai amalan sunnah. Barangsiapa yang beribadah pada bulan tersebut dengan satu kebaikan, maka sama (nilainya) dengan menunaikan satu ibadah wajib pada bulan yang lain. Barangsiapa yang menunaikan satu kewajiban pada bulan itu, maka sama dengan menunaikan 70 ibadah wajib pada bulan yang lain. Itulah bulan kesabaran dan balasan kesabaran adalah surga …. Itulah bulan yang awalnya adalah rahmat, pertengahannya ampunan dan akhirnya adalah merupakan pembebasan dari api neraka …..”. [HR Ibnu Khuzaimah, no. 1887 dan lain-lain]

Sanad hadits ini dha’îf (lemah), karena ada seorang perawi yang bernama Ali bin Zaid bin Jud’ân. Orang ini seorang perawi yang lemah sebagai mana diterangkan oleh Imam Ahmad rahimahullah, Yahya rahimahullah, Bukhâri rahimahullah, Dâru Quthni rahimahullah, Abu Hâtim rahimahullah dan lain-lain.

Ibnu Khuzaimah rahimahullah sendiri mengatakan, “Aku tidak menjadikannya sebagai hujjah karena hafalannya jelek.” Imam Abu Hatim rahimahullah mengatakan, “Hadits ini mungkar.” lihat kitab Silsilah ad-Dha’îfah Wal Maudhû’ah, no. 871, at-Targhîb wat Tarhîb, 2/94 dan Mizânul I’tidâl, 3/127.

Artikel 2 belajarislam.com memetik: Hadis panjang khuzaimah
Dalam sebuah hadits panjang yang diriwayatkan oleh Salman radhiyallohu anhu beliau berkata: Rasulullah shallallohu alaihi wasallam berkhutbah pada hari terakhir di bulan Sya’ban, beliau bersabda: “Wahai sekalian manusia kalian telah dinaungi bulan agung nan diberkahi …, bulan yang awalnya adalah rahmat, pertengahannya magfirah (pengampunan) dan akhirnya adalah pembebasan dari api neraka….” ] HR. Ibnu Khuzaimah dalam Shohihnya (3/191 no.1887)]

Penjelasan: Hadits ini lemah, Ibnu Khuzaimah sendiri telah mengisyaratkan hal itu, karenanya beliau memberi judul hadits ini: “Keutamaan bulan Ramadhan jika haditsnya shohih”. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Baihaqi. Dalam isnadnya ada kelemahan, padanya ada Abul Hasan Ali bin Zaid bin Ju’dan At Taymi dan dia adalah seorang yang lemah menurut para Imam ahli hadits seperti Imam Ahmad, Yahya bin Ma’in dan Yahya bin Said Al Qaththan rahimahumullohu ta’ala jami’an. Abu Hatim mengatakan bahwa hadits ini mungkar sebagaimana yang dinukil oleh Al Albani dalam Silsilah Al Ahadits Adh Dho’ifah (871)

Dari segi matan, makna hadits ini pun tidak tepat karena seolah-olah memberi pengertian bahwa rahmat Allah hanya terkhusus pada 1/3 awal dari Ramadhan, maghfirah pada 1/3 pertengahan dan pembebasan dari api neraka hanya terkhusus pada 1/3 akhir dan makna hadits ini bertentangan dengan beberapa hadits shohih yang menunjukkan bahwa rahmat, maghfirah dan pembebasan dari api neraka terdapat dalam sepanjang bulan Ramadhan.

Artikel belajarislam.com memetik:
a. Dari Abu Hurairah radhiyallohu anhu berkata: Rasulullah shallallohu alaihi wasallam bersabda: “Jika datang bulan Ramadhan terbukalah pintu-pintu rahmat, tertutup pintu-pintu neraka dan para syaitan terbelenggu” (HR Muslim dalam Shohihnya, Kitab Ash Shiyam, Bab Fadhl Syahri Ramadhan no.1079)

b. Dari Abu Hurairah radhiyallohu anhu berkata bahwa Rasulullah shallallohu alaihi wasallam bersabda : “Barangsiapa yang mengerjakan qiyam Ramadhan (shalat tarawih) dilandasi keimanan dan mengharapkan pahala di sisi Allah maka diampunkan baginya dosa yang telah lampau”, dalam riwayat yang lain : “Barangsiapa yang mengerjakan puasa di bulan Ramadhan dilandasi keimanan dan mengharapkan pahala di sisi Allah maka diampunkan baginya dosa yang telah lampau” [ HR.Bukhori dalam Shohihnya, Kitab Al Iman no.37,38 dan Muslim dalam Shohihnya (760) ]

Dari Abu Hurairah radhiyallohu anhu berkata : Rasulullah shallallohu alaihi wasallam bersabda : “Apabila telah masuk malam pertama di bulan Ramadhan maka syaitan dan jin pengganggu terbelenggu, pintu-pintu neraka tertutup tidak satupun terbuka darinya, pintu-pintu surga terbuka tidak satupun tertutup darinya, ada malaikat yang akan menyeru : “Wahai para pencari kebaikan menujulah (kebaikan tsb), wahai para pencari kejahatan berhentilah (dari kejahatan) dan Allah memiliki hamba-hamba yang dibebaskan dari api neraka dan ini terjadi di setiap malam bulan Ramadhan” ( HR.Tirmidzi dalam Sunannya, Kitab Ash Shaum ‘an Rasulillah, Bab Maa Jaa Fi Fadhli Syahri Ramadhan, no 683 )

Ketiga hadits di atas secara gamblang menunjukkan bahwa rahmat, maghfirah dan pembebasan dari api neraka berlaku di sepanjang bulan Ramadhan.

Hadis 6: Tidur orang puasa adalah ibadah

Artikel 2 www.muslim.or.id memetik: Tidur Ibadah
Tidurnya orang yang berpuasa adalah ibadah, diamnya adalah tasbih, do’anya dikabulkan, dan amalannya pun akan dilipatgandakan pahalanya.” Hadits ini diriwayatkan oleh Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman (3/1437).

Hadits ini dhaif, sebagaimana dikatakan Al Hafidz Al Iraqi dalam Takhrijul Ihya (1/310). Al Albani juga mendhaifkan hadits ini dalam Silsilah Adh Dha’ifah (4696).

Terdapat juga riwayat yang lain: Tamam
 Orang yang berpuasa itu senantiasa dalam ibadah meskipun sedang tidur di atas ranjangnya.” Hadits ini diriwayatkan oleh Tammam (18/172). Hadits ini juga dhaif, sebagaimana dikatakan oleh Al Albani dalam Silsilah Adh Dhaifah (653).

Keterangan: Yang benar, tidur adalah perkara mubah (boleh) dan bukan ritual ibadah. Maka, sebagaimana perkara mubah yang lain, tidur dapat bernilai ibadah jika diniatkan sebagai sarana penunjang ibadah. Misalnya, seseorang tidur karena khawatir tergoda untuk berbuka sebelum waktunya, atau tidur untuk mengistirahatkan tubuh agar kuat dalam beribadah.

Sebaliknya, tidak setiap tidur orang berpuasa itu bernilai ibadah. Sebagai contoh, tidur karena malas, atau tidur karena kekenyangan setelah sahur. Keduanya, tentu tidak bernilai ibadah, bahkan bisa dinilai sebagai tidur yang tercela. Maka, hendaknya seseorang menjadikan bulan ramadhan sebagai kesempatan baik untuk memperbanyak amal kebaikan, bukan bermalas-malasan.

Artikel 4 almanhaj.or.id memetik: tidur dan diam orang puasa
Orang yang berpuasa itu tetap dalam kondisi beribadah meskipun dia tidur di atas kasurnya”. [HR Tamâm]

Sanad hadits ini dha’if, karena dalam sanadnya terdapat Yahya bin Abdullah bin Zujâj dan Muhammad bin Hârûn bin Muhammad bin Bakar bin Hilâl.
Kedua orang ini tidak ditemukan keterangan tentang jati diri mereka dalam kitab Jarh wat Ta’dil (yaitu kitab-kitab yang berisi keterangan tentang cela atau cacat ataupun pujian terhadap para rawi).

Ditambah lagi, dalam sanad hadits ini terdapat perawi yang bernama Hâsyim bin Abu Hurairah al Himshi. Dia seorang perawi yang majhûl (tidak diketahui keadaan dirinya), sebagaimana dijelaskan oleh adz-Dzahabi rahimahullah dalam kitab beliau rahimahullah Mizânul I’tidâl. Imam Uqaili rahimahullah mengatakan, “Orang ini haditsnya mungkar.”

Ada juga hadits lain yang semakna dengan hadits diatas iaitu hadits yang diriwayatkan oleh Dailami rahimahullah dalam kitab Musnad Firdaus lewat jalur Anâs bin Mâlik Radhiyallahu ‘anhu dengan lafazh:
 Orang yang berpuasa itu tetap dalam ibadah meski pun dia tidur di atas kasurnya”.

Sanad hadits ini maudhû’ (palsu), karena ada seorang perawi yang bernama Muhammad bin Ahmad bin Sahl. Orang ini termasuk pemalsu hadits, sebagaimana diterangkan oleh Imam adz-Dzahabi dalam kitab ad-Dhu’afa.lihat kitab Silsilah ad-Dha’îfah wal Maudhû’ah, no. 653 dan kitab Faidhul Qadîr, no. 5125

Ada juga hadits lain yang semakna:
 Tidurnya orang yang sedang berpuasa itu ibadah, diamnya merupakan tasbih, amal perbuatannya (akan dibalas) dengan berlipat ganda, doa’nya mustajab dan dosanya diampuni”. [Dikeluarkan oleh al-Baihaqi dalam Syu’abul Imân dan lain-lain dari jalur periwayatan Abdullah bin Abi Aufa.

Sanad hadits ini maudhû’, karena dalam sanadnya terdapat seorang perawi yang bernama Sulaiman bin Amr an-Nakha’i, seorang pendusta. [Lihat, Faidhul Qadîr, no. 9293, Silsilatud Dha’ifah, no. 4696]

Artikel 8 belajarislam.com memetik:
 Tidurnya orang yang berpuasa merupakan ibadah”

Penjelasan: Hadits ini dilemahkan oleh Imam Al Iraqi dalam kitab beliau Al Mughni ‘An Hamli Al Asfar fii Takhrij Maa fil Ihyaa minal Akhbaar (buku yang mentakhrij hadits-hadits yang termuat dalam kitab Ihya Ulumuddin karya Al Ghazali), beliau berkata: “Hadits ini kami riwayatkan dari kitab Amali Ibnu Mandah dari riwayat Ibnu Mughirah Al Qawwas dari Abdullah bin Umar dengan sanad yang lemah. Mungkin yang dimaksud (oleh Ibnu Mandah) adalah Abdullah bin ‘Amr bukan Ibnu Umar, karena para ulama menyebutkan bahwa riwayat Ibnul Mughirah hanyalah dari Abdullah bin ‘Amru. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Abu Manshur Ad Dailami dalam Musnad Al Firdaus dari hadits Abdullah bin Abu Awfa dan pada sanadnya ada Sulaiman bin ‘Amr An Nakha’i salah seorang pendusta(Al Mughni ‘an Hamlil Asfar 1/182)

Matan hadits ini juga telah disalah gunakan oleh banyak masyarakat awam sehingga pada waktu berpuasa kebanyakan mereka hanya isi dengan tidur, bahkan diantara mereka ada yang tidak melaksanakan beberapa sholat wajib dan nanti terjaga saat menjelang buka puasa.

Hadis 7: Batal Puasa

Artikel 12 www.muslim.or.id memetik: Batal puasa Al Jauraqani
 “Lima hal yang membatalkan puasa dan membatalkan wudhu: berbohong, ghibah, namimah, melihat lawan jenis dengan syahwat, dan bersumpah palsu.”

Hadits ini diriwayatkan oleh Al Jauraqani di Al Abathil (1/351), oleh Ibnul Jauzi di Al Maudhu’at (1131)

Hadits ini adalah hadits palsu, sebagaimana dijelaskan Ibnul Jauzi dalam Al Maudhu’at (1131), Al Albani dalam Silsilah Adh Dhaifah (1708).

Yang benar, lima hal tersebut bukanlah pembatal puasa, namun pembatal pahala puasa. Sebagaimana hadits: “Orang yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan mengamalkannya, serta mengganggu orang lain, maka Allah tidak butuh terhadap puasanya.” (HR. Bukhari, no.6057)

Hadis 8: Puasa itu sihat

Artikel 1 www.muslim.or.id memetik: Puasa itu sihat Abu Naim
 “Berpuasalah, kalian akan sehat.”

Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Ath Thibbun Nabawi sebagaimana dikatakan oleh Al Hafidz Al Iraqi dalam Takhrijul Ihya (3/108), oleh Ath Thabrani dalam Al Ausath (2/225), oleh Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil Fid Dhu’afa (3/227).

Hadits ini dhaif (lemah), sebagaimana dikatakan oleh Al Hafidz Al Iraqi dalam Takhrijul Ihya (3/108), juga Al Albani dalam Silsilah Adh Dha’ifah (253). Bahkan Ash Shaghani agak berlebihan mengatakan hadits ini maudhu (palsu) dalam Maudhu’at Ash Shaghani (51).

Keterangan: jika memang terdapat penelitian ilmiah dari para ahli medis bahwa puasa itu dapat menyehatkan tubuh, makna dari hadits dhaif ini benar, namun tetap tidak boleh dianggap sebagai sabda Nabi shallallahu’alaihi wa sallam.

Artikel 5 darussalaf.or.id memetik: Puasa sihat
“Berpuasalah, niscaya kalian akan sehat.”

Ini adalah hadits dha’if, dikeluarkan oleh Al-’Uqaili dalam Adh-Dhu’afa’ [II/92], Ath-Thabarani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir [1190], dan selain mereka.

Di dalam sanadnya terdapat rawi yang bernama Zuhair bin Muhammad At-Tamimi, riwayat penduduk negeri Syam dari dia adalah riwayat yang di dalamnya banyak riwayat munkar.

Dalam sanadnya yang lain, terdapat rawi yang bernama Nahsyal bin Sa’id, dan dia adalah rawi yang matruk (ditinggalkan haditsnya). Ishaq bin Rahuyah dan Abu Dawud Ath-Thayalisi menyatakan dia adalah rawi yang kadzdzab (pendusta). Di samping itu sanadnya juga terputus.

Dalam sanadnya yang lain juga terdapat rawi yang bernama Husain bin ‘Abdillah bin Dhamirah Al-Himyari yang dikatakan oleh para ulama di antaranya:

Al-Imam Malik menisbahkan dia sebagai rawi yang pendusta.
Ibnu Ma’in menyatakan bahwa dia adalah kadzdzab (pendusta), tidak ada nilainya sedikitpun.
Al-Bukhari menyatakan bahwa dia adalah munkarul hadits (kebanyakan haditsnya munkar).
Abu Zur’ah menyatakan bahwa dia adalah rawi yang tidak ada nilainya sedikitpun, hinakan haditsnya (yakni yang dia riwayatkan).”
Al-Hafizh Al-’Iraqi melemahkan sanadnya, dan Asy-Syaikh Al-Albani melemahkan hadits ini. [As-Silsilah Adh-Dha’ifah (253)].

Artikel 6 belajarislam.com memetik: Puasa menyihatkan:
Dari Abu Hurairah radhiyallohu anhu secara marfu’: “Berperanglah (berjihad) niscaya kalian akan mendapatkan ghanimah, puasalah niscaya kalian akan sehat dan bersafarlah niscaya kalian akan berkecukupan” [ HR Thabrani dalam Al Mu’jam Al Awsath (8/174 no.8312) dan Abu Nu’aim dalam Ath Thib An Nabawi sebagaimana yang disebutkan dalam Al Maqashid Al Hasanah (hal 282)

Penjelasan: Hadits ini diriwayatkan oleh dua imam di atas dari Muhammad bin Sulaiman bin Abu Daud Al Harrani dari Zuhair bin Muhammad dari Suhail bin Abu Sholih dari bapaknya dari Abu Hurairah radhiyallohu anhu. Thobrani berkata: Tidak ada yang meriwayatkan hadits ini dengan lafazh seperti ini kecuali Zuhair”

Zuhair yang beliau maksudkan adalah Abul Mundzir Al Khurasani; Abu Bakar bin Al Atsram berkata: Saya telah mendengar Abu Abdillah (yakni Imam Ahmad-pen) dan dia menyebutkan riwayat penduduk Syam dari Zuhair bin Muhammad, beliau berkata: “Mereka meriwayatkan darinya hadits-hadits mungkar

Abu Hatim berkata: “Kedudukannya adalah shidq(jujur) akan tetapi hapalannya buruk, hadits yang diriwayatkannya di Syam lebih mungkar dari haditsnya di Irak disebabkan hapalannya yang jelek, maka apa yang diriwayatkannnya lewat hapalannya banyak kesalahan-kesalahannya dan apa yang diriwayatkan dari tulisannya maka baik”

Al Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Dia telah bermukim di Syam kemudian Hijaz, dia seorang yang tsiqoh (terpercaya) akan tetapi riwayat penduduk Syam darinya tidak mustaqimah (lurus) maka dia dilemahkan disebabkan hal tersebut”

Dan hadits ini salah satu dari riwayat penduduk Syam karena Muhammad bin Sulaiman Al Harroni (berasal dari Syam) dan kelemahan lain dari hadits ini adalah guru dari Thobrani yaitu Musa bin Zakariyya; dia seorang yang matruk (ditinggalkan)

Imam Ash Shoghani menilai hadits ini sebagai hadits palsu, karena itu beliau memasukkannya dalam kitab beliau Al Maudhu’at (72). Namun penilaian ini dianggap berlebihan oleh Syaikh Al Albani, yang tepat kita katakan hadits ini lemah namun tidak sampai derajat maudhu’ (palsu). Wallahu A’lam. Lihat: Silsilah Al Ahadits Adh Dho’ifah (1/420 no.253)

Hadis 9: Beri makan orang berpuasa

Artikel 9 www.muslim.or.id memetik: Memberi makan
Barangsiapa memberi hidangan berbuka puasa dengan makanan dan minuman yang halal, para malaikat bershalawat kepadanya selama bulan Ramadhan dan Jibril bershalawat kepadanya di malam lailatul qadar.”

Hadist ini diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam Al Majruhin (1/300), Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman (3/1441), Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil Adh Dhuafa (3/318), Al Mundziri dalam At Targhib Wat Tarhib (1/152)

Hadits ini didhaifkan oleh Ibnul Jauzi dalam Al Maudhuat (2/555), As Sakhawi dalam Maqasidul Hasanah (495), Al Albani dalam Dhaif At Targhib (654)
Yang benar, orang yang memberikan hidangan berbuka puasa akan mendapatkan pahala puasa orang yang diberi hidangan tadi, berdasarkan hadits:
Siapa saja yang memberikan hidangan berbuka puasa kepada orang lain yang berpuasa, ia akan mendapatkan pahala orang tersebut tanpa sedikitpun mengurangi pahalanya.” (HR. At Tirmidzi no 807, ia berkata: “Hasan shahih”)

Hadis 10: Jihat melawan Nafsu

Artikel 10 www.muslim.or.id memetik: Jihad Nafsu
 Kita telah kembali dari jihad yang kecil menuju jihad yang besar.” Para sahabat bertanya: “Apakah jihad yang besar itu?” Beliau bersabda: “Jihadnya hati melawan hawa nafsu.”

Menurut Al Hafidz Al Iraqi dalam Takhrijul Ihya (2/6) hadits ini diriwayatkan oleh Al Baihaqi dalam Az Zuhd. Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Takhrijul Kasyaf (4/114) juga mengatakan hadits ini diriwayatkan oleh An Nasa’i dalam Al Kuna.
Hadits ini adalah hadits palsu. Sebagaimana dikatakan oleh Syaikhul Islam dalam Majmu Fatawa (11/197), juga oleh Al Mulla Ali Al Qari dalam Al Asrar Al Marfu’ah (211). Al Albani dalam Silsilah Adh Dhaifah (2460) mengatakan hadits ini Munkar.

Hadits ini sering dibawakan para khatib dan dikaitkan dengan Ramadhan, iaitu untuk mengatakan bahwa jihad melawan hawa nafsu di bulan Ramadhan lebih utama dari jihad berperang di jalan Allah. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Hadits ini tidak ada asalnya. Tidak ada seorang pun ulama hadits yang berangapan seperti ini, baik dari perkataan maupun perbuatan Nabi. Selain itu jihad melawan orang kafir adalah amal yang paling mulia. Bahkan jihad yang tidak wajib pun merupakan amalan Sunnah yang paling dianjurkan.” (Majmu’ Fatawa, 11/197). Artinya, makna dari hadits palsu ini pun tidak benar karena jihad berperang di jalan Allah adalah amalan yang paling mulia. Selain itu, orang yang terjun berperang di jalan Allah tentunya telah berhasil mengalahkan hawa nafsunya untuk meninggalkan dunia dan orang-orang yang ia sayangi.

Hadis 11: Doa Rejab Saaban

Artikel belajarislam.com memetik: Doa Rejab
Dari Anas radhiyallohu anhu adalah Nabi shallallohu alaihi wasallam berdoa agar diperjumpakan dengan bulan Ramadhan, maka jika beliau sudah berada di bulan Rajab, beliau berdoa: “Ya Allah berkahilah kami di bulan Rajab dan Sya’ban serta perjumpakanlah kami dengan bulan Ramadhan” [ HR. Ahmad (2342) dan Thobrani dalam Al Mu’jam al Awsath (4/149/no.3939); lafal hadits ini bagi beliau]

Penjelasan:  Dalam sanad hadits ini ada dua perowi yang lemah;
Pertama: Zaidah bin Abu Ruqad Al Bahili; dia seorang yang munkarul hadits (haditsnya mungkar) sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Bukhari, Nasai dan Al Hafizh Ibnu Hajar.
Kedua: Ziyad bin Abdullah An Numairi dia seorang yang dinilai lemah oleh Imam Yahya Bin Ma’in, Abu Daud dan Al Hafizh Ibnu Hajar. Abu Hatim berkata: Haditsnya boleh ditulis namun tidak dijadikan sebagai hujjah.

Namun demikian bukan berarti kita tidak boleh berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk diperjumpakan dengan bulan Ramadhan, bahkan Ibnu Rajab Al Hanbali menukil dari Mu’alla bin Fadhl yang menyebutkan bahwa kaum salaf terdahulu berdoa selama enam bulan sebelumnya agar dipertemukan dengan bulan Ramadhan, kemudian berdoa pada enam bulan berikutnya agar Allah Azza wa Jalla menerima amalan-amalan mereka di bulan tersebut. (Lihat: Lathoif Al Ma’aarif, hal 280)

Hadis 12: Zakat Fitrah

Artikel 7 www.muslim.or.id memetik: Zakat fitrah
Bulan Ramadhan bergantung di antara langit dan bumi. Tidak ada yang dapat mengangkatnya kecuali zakat fithri.”

Hadits ini disebutkan oleh Al Mundziri dalam At Targhib Wat Tarhib (2/157). Al Albani mendhaifkan hadits ini dalam Dhaif At Targhib (664), dan Silsilah Ahadits Dhaifah (43).

Yang benar, jika dari hadits ini terdapat orang yang meyakini bahwa puasa Ramadhan tidak diterima jika belum membayar zakat fithri, keyakinan ini salah, karena haditsnya dhaif. Zakat fithri bukanlah syarat sah puasa Ramadhan, namun jika seseorang meninggalkannya ia mendapat dosa tersendiri.

Artikel 7 darussalaf.or.id memetik: zakat fitrah
Sesungguhnya bulan Ramadhan itu tergantung di antara langit dan bumi, tidaklah bisa diangkat kecuali dengan zakat fitrah.”

Ini adalah hadits dha’if. Diriwayatkan oleh Ibnu Shishri di dalam Al-Amali dan bagian hadits ini hilang, juga diriwayatkan oleh Ibnu Syahin di dalam At-Targhib, dan Ibnul Jauzi di dalam Al-’Ilal Al-Mutanahiyah [II/499].

Di dalam sanadnya terdapat rawi yang bernama Muhammad bin ‘Ubaid yang dikatakan oleh Ibnul JAuzi bahwa dia adalah majhul (tidak dikenal). Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan setelah menyebutkan hadits ini di dalam Lisanul Mizan [V/276]: “Dia adalah rawi yang tidak ada satupun yang mengikutinya.”

Asy-Syaikh Al-Albani mendha’ifkan hadits ini di dalam As-Silsilah Adh-Dha’ifah (43).

Hadis 13: 3 Doa Jibril

Artikel DrRozaimiRamle @facebook.com memetik: Doa Jibril
"Ya Allah, abaikan puasa umat Muhammad jika sebelum masuk ramadhan dia tidak melakukan 3 hal ini:
1.Tidak minta maaf kepada kedua orang tua.
2.Tidak bermaafan dengan sahabat sahabatnya.
3.Tidak bermaafan dengan orang sekitarnya." maka, Rasullullah pun mengaminkannya sebanyak 3kali.

Dengan ini, saya ingin memohon maaf jika ada salah dan silap yang telah dilakukan sebelum sebelum ini. Minta maaf kalau ada terkasar bahasa, menyinggung atau mengguris hati. Mohon ampun dan maaf sekali lagi dari saya dan keluarga.

Jawapan Admin: Ia hadis palsu. Tiada asal padanya. Berdosa besar sesiapa yang mereka-rekanya dan menyebarkannya.

Imam Muslim dalam Muqadimah Sahih Muslim membawakan beberapa hadis yang mengajar kita untuk berhati-hati dalam menyebarkan sesuatu.

Cukuplah dengan hadis yang sahih atau hasan. Antaranya ialah hadis yang benar seperti di bawah:

Jabir bin ‘Abdullah berkata Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam menaiki mimbar, ketika baginda menaiki anak tangga yang pertama, baginda menyebut “Amin”, kemudian apabila menaiki anak tangga yang kedua, baginda menyebut “Amin”, kemudian apabila menaiki anak tangga ketiga, baginda menyebut “Amin”.

Para sahabat bertanya: Ya Rasulullah. Kami mendengar engkau menyebut Amin sebanyak tiga kali.

Baginda menjawab: Ketika aku menaiki anak tangga yang pertama, Jibril datang kepada ku dan berkata: Celaka sungguh seorang manusia yang bertemu dengan Ramadhan, tetapi keluar daripadanya tanpa diampuni dosanya. Lalu aku pun menyebut Amin.

Kemudian Jibril berkata: Celakalah manusia yang ibu bapanya masih hidup atau salah seorang daripada mereka masih hidup, tetapi hal itu tidak memasukkannya ke dalam syurga. Aku pun menyebut Amin.

Kemudian Jibril berkata: Celakalah manusia yang engkau (iaitu Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam) di sebut di sisinya, tetapi dia tidak berselawat ke atas engkau. Aku pun menyebut Amin.

[Al-Imam Al-Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad, hadis no: 640. Shaikh al-Albani berkata ia Sahih Lighairihi dalam Sahih al-Adab al-Mufrad]

Artikel tajdid-dakwah.blogspot.com memetik: Hadis 13 Doa Jibril
Hadis yang disebarkan berbunyi begini: Do'a malaikat Jibril menjelang Ramadhan " Ya Allah tolong abaikan puasa ummat Muhammad, apabila sebelum memasuki bulan Ramadhan dia tidak melakukan hal-hal yang berikut: - Tidak memohon maaf terlebih dahulu kepada kedua orang tuanya (jika masih ada); Tidak berma'afan terlebih dahulu antara suami isteri; Tidak bermaafan terlebih dahulu dengan orang-orang sekitarnya. " Maka Rasulullah pun mengatakan Amiin sebanyak 3 kali. Dapatkah kita bayangkan, yang berdo'a adalah Malaikat dan yang meng-amiinkan adalah Rasullullah dan para sahabat, dan dilakukan pada hari Jumaat.

*****Hadis ini telah DIPALSUKAN buktinya diterangkan dibawah*****

RIWAYAT YANG ASAL (HADIS SAHIH)

Dari Ka’ab Bin ‘Ujrah (ra) katanya: Rasulullah S.A.W bersabda: Berhimpunlah kamu sekalian dekat dengan mimbar. Maka kamipun berhimpun. Lalu beliau menaiki anak tangga mimbar, beliau berkata: Amin. Ketika naik ke anak tangga kedua, beliau berkata lagi: Amin. Dan ketika menaiki anak tangga ketiga, beliau berkata lagi: Amin. Dan ketika beliau turun (dari mimbar) kamipun bertanya: Ya Rasulullah, kami telah mendengar sesuatu dari tuan pada hari ini yang kami belum pernah mendengarnya sebelum ini. Lalu baginda menjawab: “Sesungguhnya Jibrail (as) telah membisikkan (doa) kepadaku, katanya: Celakalah orang yang mendapati bulan Ramadhan tetapi dosanya tidak juga diampuni. Lalu aku pun mengaminkan doa tersebut. Ketika aku naik ke anak tangga kedua, dia berkata lagi: Celakalah orang yang (apabila) disebut namamu di sisinya tetapi dia tidak menyambutnya dengan salawat ke atasmu. Lalu aku pun mengaminkannya. Dan ketika aku naik ke anak tangga yang ketiga, dia berkata lagi: Celakalah orang yang mendapati ibubapanya yang sudah tua atau salah seorang daripadanya, namun mereka tidak memasukkan dia ke dalam surga. Lalu aku pun mengaminkannya Hadits Riwayat Bazzar dalam Majma'uz Zawaid 10/1675-166, Hakim 4/153 disahihkannya dan disetujui oleh Imam Adz-Dzahabi dari Ka'ab bin Ujrah, diriwayatkan juga oleh Imam Bukhari dalam Adabul Mufrad no. 644 (Shahih Al-Adabul Mufrad No.500 dari Jabir bin Abdillah)] Sesiapa yang terlibat menyebarkan hadis palsu ini silalah hentikannya ia adalah kerana.....

Artikel isma.org.my memetik: tradisi bermaafan
Ketika Rasullullah sedang berkhutbah pada Solat Jumaat (dalam bulan Sya’ban), beliau mengatakan ‘Amin sampai tiga kali, dan para sahabat begitu mendengar Rasullullah mengatakan ‘Amin’, terkejut dan spontan mereka turut mengatakan ‘Amin. Tapi para sahabat bingung, kenapa Rasullullah berkata ‘Amin‘sampai tiga kali. Ketika selesai solat Jumaat, para sahabat bertanya kepada Rasullullah, kemudian beliau menjelaskan: “Ketika aku sedang berkhutbah, datanglah Malaikat Jibril dan berbisik, hai Rasullullah ‘Amin kan doa ku ini,” jawab Rasullullah.

Do’a Malaikat Jibril itu adalah: “Ya Allah tolong abaikan puasa ummat Muhammad, apabila sebelum memasuki bulan Ramadhan dia tidak melakukan hal-hal yang berikut:
1) Tidak memohon maaf terlebih dahulu kepada kedua orang tuanya (jika masih ada);
2) Tidak bermaafan terlebih dahulu antara suami isteri;
3) Tidak bermaafan terlebih dahulu dengan orang-orang sekitarnya.

Dikatakan bahawa hadis tersebut diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah (3/192) dan Ahmad (2/246, 254).

Setelah diteliti oleh ahli hadis, doa Malaikat Jibril tersebut tidak ditemui asalnya, bahkan dalam himpunan hadis palsu atau dhaif pun tidak ada. Tidak ditemui sebarang tanda yang boleh membawa kita untuk menilai darjatnya.

Namun apa yang sebenarnya ditemui dalam kitab Sohih Ibnu Khuzaimah (3/192) juga pada kitab Musnad Imam Ahmad (2/246, 254) adalah hadis berikut:
“Dari Abu Hurairah: Rasulullah SAW naik mimbar lalu bersabda: ‘Amin, Amin, Amin’. Para sahabat bertanya: “Kenapa engkau berkata demikian, wahai Rasulullah?” Kemudian beliau bersabda, “Baru saja Jibril berkata kepadaku: ‘Allah melaknat seorang hamba yang melalui Ramadhan tanpa mendapatkan ampunan’, maka ku katakan, ‘Amin’, kemudian Jibril berkata lagi, ‘Allah melaknat seorang hamba yang mengetahui kedua orang tuanya masih hidup, namun tidak membuatnya masuk Syurga (kerana tidak berbakti kepada mereka berdua)’, maka aku berkata: ‘Amin’. Kemudian Jibril berkata lagi. ‘Allah melaknat seorang hamba yang tidak bersolawat ketika disebut namamu’, maka ku katakan, ‘Amin”.” Al A’zhami berkata: “Sanad hadis ini jayyid”.”

(Hadis ini disohihkan oleh Al Mundziri dalam At Targhib Wat Tarhib (2/114, 406, 407, 3/295), juga oleh Adz Dzahabi dalam Al Mazhab (4/1682), dihasankan oleh Al Haitsami dalam Majma’ Az Zawaid (8/142), juga oleh Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Al Qaulul Badi (212).

Dari sini jelaslah bahawa kedua-dua hadis tersebut di atas adalah dua hadis yang berbeza. Entah siapa orang yang membuat hadis pertama; atau mungkin boleh jadi pembuat hadis tersebut mendengar hadis kedua, lalu menyebarkannya kepada orang ramai dengan daya ingatan yang rosak, sehingga berubahlah makna hadis; atau boleh jadi juga, pembuat hadis ini berinovasi membuat tradisi bermaaf-maafan sebelum Ramadhan, lalu sengaja menyelewengkan hadis kedua ini untuk mengesahkan tradisi tersebut.

Yang nyata, hadis yang pertama itu tidak ada asal-usulnya, ia BUKAN HADIS dan tidak wajar menjadi rujukan sesuatu amalan.

Meminta maaf itu disyariatkan dalam Islam. Rasulullah SAW bersabda:
“Orang yang pernah menzalimi saudaranya dalam hal apapun, maka “hari ini” ia wajib meminta perbuatannya tersebut dihalalkan oleh saudaranya, sebelum datang hari di mana tidak ada ada dinar dan dirham. Kerana jika orang tersebut memiliki amal soleh, amalnya tersebut akan dikurangi untuk melunasi kezalimannya. Namun jika ia tidak memiliki amal soleh, maka ditambahkan kepadanya dosa-dosa dari orang yang ia zalimi” (HR. Bukhari no.2449)

Dari hadis ini jelas bahawa Islam mengajarkan untuk meminta maaf, jika berbuat kesalahan kepada orang lain.

Adapun meminta maaf tanpa sebab dan dilakukan kepada semua orang yang ditemui, tidak pernah diajarkan oleh Islam. Jika ada yang berkata: “Manusia kan tempat salah dan dosa, mungkin saja kita berbuat salah kepada semua orang tanpa disedari”. Yang dikatakan itu memang benar, namun apakah serta merta kita perlu meminta maaf kepada semua orang yang kita temui?

Selain itu, kesalahan yang tidak sengaja atau tidak disedari tidak dihitung sebagai dosa di sisi Allah Ta’ala. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
“Sesungguhnya Allah telah memaafkan ummatku yang berbuat salah kerana tidak sengaja, atau kerana lupa, atau kerana dipaksa” (HR Ibnu Majah, 1675, Al Baihaqi, 7/356, Ibnu Hazm dalam Al Muhalla, 4/4, sohih).

Sehingga, perbuatan meminta maaf kepada semua orang tanpa sebab boleh terjerumus pada ghuluw (berlebihan) dalam beragama.

Dan kata “hari ini” dalam hadis riwayat Bukhari menunjukkan bahawa meminta maaf itu boleh dilakukan bila-bila saja dan yang paling baik adalah dengan segera, kerana kita tidak tahu bila ajal menjemput.

Namun bagi seseorang yang memang memiliki kesalahan kepada saudaranya dan belum menemukan waktu yang sesuai untuk meminta maaf dan menganggap waktu datangnya Ramadhan adalah saat yang tepat, tidak ada larangan memanfaatkan waktu ini untuk meminta maaf kepada orang yang pernah dizaliminya.

Asalkan tidak dijadikan kebiasaan sehingga menjadi ritual rutin yang dilakukan setiap tahun.

Hadis 14: Ganjaran puasa dan tarawih 30 malam

Artikel 1 almanhaj.or.id memetik: Ganjaran puasa/tarawih
 Dari Nadhir bin Syaibân, ia mengatakan, ‘Aku pernah bertemu dengan Abu Salamah bin Abdurrahman rahimahullah, aku mengatakan kepadanya, ‘Ceritakanlah kepadaku sebuah hadits yang pernah engkau dengar dari bapakmu (maksudnya Abdurraman bin ‘Auf Radhiyallahu anhu) tentang Ramadhân.’ Ia mengatakan, ‘Ya, bapakku (maksudnya Abdurraman bin ‘Auf Radhiyallahu ‘anhu) pernah menceritakan kepadaku bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyebut bulan Ramadhân lalu bersabda, ‘Bulan yang Allâh Azza wa Jalla telah wajibkan atas kalian puasanya dan aku menyunahkan buat kalian shalat malamnya. Maka barangsiapa yang berpuasa dan melaksanakan shalat malam dengan dasar iman dan mengharapkan ganjaran dari Allâh Azza wa Jalla, niscaya dia akan keluar dari dosa-dosanya sebagaimana saat dia dilahirkan oleh ibunya”. [HR Ibnu Mâjah, no. 1328 dan Ibnu Khuzaimah, no. 2201 lewar jalur periwayatan Nadhr bin Syaibân]

Sanad hadits ini lemah, karena Nadhr bin Syaibân itu layyinul hadîts (orang yang haditsnya lemah), sebagaimana dikatakan oleh al-Hâfizh Ibnu Hajar rahimahullah dalam kitab Taqrîb beliau rahimahullah.

Ibnu Khuzaimah rahimahullah juga telah menilai hadits ini lemah dan beliau rahimahullah mengatakan bahwa hadits yang sah adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu.

Hadits yang beliau rahimahullah maksudkan yaitu hadits yang dikeluarkan oleh Imam Bukhâri dan Muslim dan ulama hadits lainnya lewat jalur Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Barangsiapa yang shalat (qiyâm Ramadhân atau Tarawih) dengan dasar iman dan mengharap pahala, maka diampuni dosanya yang telah lalu”.

Juga ada sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits shahih riwayat Bukhâri dan Muslim, yaitu: Barangsiapa yang menunaikan ibadah haji dan tidak jima’ juga tidak fasiq, niscaya dia akan kembali seperti hari dia dilahirkan oleh sang ibu” [HR. Bukhâri dan Muslim]

Hadis 15: Keutamaan Iktikaf

Artikel 6 almanhaj.or.id memetik: keutamaan iktikaf
 Barangsiapa yang beri’tikaf pada sepuluh hari (terakhir) bulan Ramadhân, maka dia seperti telah menunaikan haji dan umrah dua kali”.

Diriwayatkan oleh al-Baihaqi rahimahullah dalam kitab beliau Syu’abul Imân dari Husain bin Ali bin Thâlib Radhiyallahu ‘anhuma. hadits ini Maudhû’.

Syaikh al-Albâni rahimahullah dalam kitab beliau Dha’if Jami’ish Shaghiir, no. 5460, mengatakan, Maudhû’ Kemudian beliau rahimahullah menjelaskan penyebab kepalsuan hadits ini dalam kitab beliau rahimahullah Silsilah ad-Dha’ifah, no. 518

Hadits dha’if lain yang hampir senada iaitu:
 Barangsiapa yang beri’tikaf atas dasar keimanan dan mengharapkan pahala, maka dia diampuni dosanya yang telah lewat”.

Hadits dha’if riwayat Dailami rahimahullah dalam Musnad Firdaus. Al-Munâwi rahimahullah, dalam kitab beliau Faidhul Qadîr, syarah Ja’mi’ Shaghîr (6/74, no. 8480) mengatakan, “Dalam hadits ini terdapat rawi yang tidak aku ketahui.”

Hadis 16: Doa berbuka

Artikel 4 www.muslim.or.id memetik: Doa berbuka
Biasanya Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam ketika berbuka membaca doa: Allahumma laka shumtu wa ‘alaa rizqika afthartu fataqabbal minni, innaka antas samii’ul ‘aliim.”

Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud dalam Sunan-nya (2358), Adz Dzahabi dalam Al Muhadzab (4/1616), Ibnu Katsir dalam Irsyadul Faqih (289/1), Ibnul Mulaqqin dalam Badrul Munir (5/710)

Ibnu Hajar Al Asqalani berkata dalam Al Futuhat Ar Rabbaniyyah (4/341): “Hadits ini gharib, dan sanadnya lemah sekali”. Hadits ini juga didhaifkan oleh Asy Syaukani dalam Nailul Authar (4/301), juga oleh Al Albani dalam Dhaif Al Jami’ (4350). Dan doa dengan lafadz yang semisal, semua berkisar antara hadits lemah dan munkar.

Sedangkan doa berbuka puasa yang tersebar dimasyarakat dengan lafadz:
Ya Allah, untuk-Mu aku berpuasa, kepada-Mu aku beriman, atas rezeki-Mu aku berbuka, aku memohon Rahmat-Mu wahai Dzat yang Maha Penyayang.”

Hadits ini tidak terdapat dalam kitab hadits manapun. Atau dengan kata lain, ini adalah hadits palsu. Sebagaimana dikatakan oleh Al Mulla Ali Al Qaari dalam kitab Mirqatul Mafatih Syarh Misykatul Mashabih: “Adapun doa yang tersebar di masyarakat dengan tambahan ‘wabika aamantu’ sama sekali tidak ada asalnya, walau secara makna memang benar.”

Yang benar, doa berbuka puasa yang dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam terdapat dalam hadits:
Biasanya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam ketika berbuka puasa membaca doa: /Dzahabaz zhamaa-u wabtalatil ‘uruqu wa tsabatal ajru insyaa Allah/
(‘Rasa haus telah hilang, kerongkongan telah basah, semoga pahala didapatkan. Insya Allah’)”

Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud (2357), Ad Daruquthni (2/401), dan dihasankan oleh Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Hidayatur Ruwah, 2/232 juga oleh Al Albani dalam Shahih Sunan Abi Daud.

Artikel 5 almanhaj.or.id memetik: Doa buka puasa.
Dari Ibnu Abbâs Radhiyallahu ‘anhu, beliau Radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, apabila hendak berbuka, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan:

 Wahai Allâh! UntukMu kami berpuasa dan dengan rizki dari Mu kami berbuka. Ya Allâh! Terimalah amalan kami! Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. [Diriwayatkan oleh Daru Quthni dalam kitab Sunan beliau rahimahullah, Ibnu Sunni dalam kitab ‘Amalul Yaumi wal Lailah, no. 473 dan Thabrani dalam kitab al-Mu’jamul Kabîr]

Sanad hadits ini sangat lemah (dha’îfun jiddan), karena:

Pertama: Ada seorang rawi yang bernama Abdul Mâlik bin Hârun bin ‘Antarah. Orang ini adalah sseorang rawi yang sangat lemah.
– Imam Ahmad rahimahullah mengatakan, “Abdul Mâlik itu dha’if.”
– Imam Yahya rahimahullah, “Dia seorang pendusta (kadzdzâb).”
– Sementara Ibnu Hibbân rahimahullah mengatakan, “Dia seorang pemalsu hadits.”
– Imam Sa’di mengatakan, “Dajjâl (pendusta).”
– Imam Dzahabi rahimahullah, ‘Dia tertuduh sebagai pemalsu hadits.”
– Ibnu Hatim mengatakan, “Matrûk (orang yang riwayatnya ditinggalkan oleh para Ulama).”

Kedua: Dalam sanad hadits ini terdapat juga orang tua dari Abdul Mâlik iaitu Hârun bin ‘Antarah. Dia ini seorang rawi yang diperselisihkan oleh para Ulama ahli hadits. Imam Daru Quthni rahimahullah menilainya lemah, sedangkan Ibni Hibbân rahimahullah telang mengatakan, “Mungkarul hadîts (orang yang haditsnya diingkari), sama sekali tidak boleh berhujjah dengannya.”

Hadits ini telah dilemahkan oleh Imam Ibnul Qayyim rahimahullah, Ibnu Hajar rahimahullah, al Haitsami rahimahullah dan Syaikh al-Albâni rahimahullah dan lain-lain. Mizânul I’tidal (2/666), Majma’uz Zawâ’id (3/156 oleh Imam Haitsami rahimahullah), Zâdul Ma’âd dalam kitab Shiyâm oleh Imam Ibnul Qayyim rahimahullah dan Irwâ’ul Ghalîl (4/36-39 oleh Syaikh al-Albâni rahimahullah)

Hadits dhaif lainnya tentang do’a berbuka iaitu:
Dari Anas Radhiyallahu ‘anhu, beliau Radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, apabila berbuka, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan: Dengan nama Allâh, Ya Allâh karenaMu aku berpuasa dan dengan rizki dari Mu aku berbuka”.

Hadits ini diriwayatkan oleh Thabrani rahimahullah dalam kitab al-Mu’jamus Shagîr, hlm. 189 dan al-Mu’jam Ausath.

Sanad hadits ini lemah (dha’îf), karena

Pertama: Dalam sanad hadits ini terdapat Ismail bin Amar al Bajali. Dia adalah seorang rawi yang lemah. Imam Dzahabi rahimahullah mengatakan dalam kitab adh-Dhu’âfa, “Bukan hanya satu orang saja yang melememahkannya.”

Imam Ibnu ‘Adi rahimahullah mengatakan, “Orang ini sering membawakan hadits-hadits yang tidak boleh diikuti.”
Imam Ibnu Hâtim rahimahullah mengatakan, “Orang ini lemah.”

Kedua: Dalam sanadnya terdapat Dâwud bin az-Zibriqân. Syaikh al-Albâni rahimahullah mengatakan, “Orang ini lebih jelek daripada Ismail bin Amr al bajali.”

Imam Abu Dâwud rahimahullah, Abu Zur’ah rahimahullah dan Ibnu Hajar rahimahullah memasukkan orang ini ke golongan matrûk (orang yang riwayatnya ditinggalkan oleh para Ulama ahli hadits).
Imam Ibnu ‘Adi mengatakan, “Biasanya apa yang diriwayatkan oleh orang ini tidak boleh diikuti.” (lihat, Mizânul I’tidâl, 2/7)

Hadits Thabrani rahimahullah ini pernah dibawakan oleh Ustadz Abdul Qadir Hassan dalam risalah puasa, namun beliau tidak mengomentari derajatnya.

Masih tentang do’a berbuka, ada hadits dha’if lainnya yang senada yaitu:
“Dari Mu’adz bin Zuhrah, telah sampai kepadanya bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila hendak berbuka, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan: “Ya Allâh karenaMu aku berpuasa dan dengan rizki dari Mu aku berbuka”.

Hadits ini dha’if (lemah). Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dâwud, no. 2358, al-Baihaqi, 4/239, Ibnu Abi Syaibah dan Ibnu Sunni. Lafazh hadits ini sama dengan hadits sebelumnya, hanya beda dalam kalimat awalnya. Hadits ini lemah karena ada dua illah (penyebab):

Pertama: Mursal [1]. Karena Mu’adz bin Zuhrah, seorang tabi’in bukan shahabat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Kedua: Juga karena Mu’adz bin Zuhrah ini seorang rawi yang majhûl, tidak ada yang meriwayatkan hadits darinya selain Hushain bin Abdurrahman. Sementara Ibnu Abi Hâtim rahimahullah dalam kitab beliau rahimahullah Jarh Wa Ta’dil tidak menerangkan tentang celaan maupun pujian untuknya.

Sebatas yang saya ketahui, tidak ada satu riwayatpun yang sah tentang do’a berbuka puasa kecuali riwayat dibawah ini: Dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma, adalah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila berbuka puasa, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan: Dahaga telah lenyap, urat-urat telah basah dan pahala atau ganjaran tetap ada insya Allâh”

Hadits ini hasan riwayat Abu Dâwud, no. 2357; Nasâ’i, 1/66; Daru Quthni, ia mengatakan, “Sanad hadits ini hasan.”; al Hâkim, 1/422 dan Baihaqi, 4/239. Syaikh al-Albâni rahimahullah sepakat dengan penilai Daru Quthni terhadap hadits ini.

Sebatas yang saya ketahui, semua rawi (orang-orang yang meriwayatkan) hadits ini adalah tsiqah (terpercaya) kecuali Husain bin Wâqid. Dia seorang rawi yang tsiqah namun memiliki sedikit kelemahan, sehingga tepatlah kalau sanad hadits ini dinilai hasan.

Hadis 17: Mengganti puasa

Artikel 5 www.muslim.or.id memetik: mengganti Puasa
“Orang yang sengaja tidak berpuasa pada suatu hari di bulan Ramadhan, padahal ia bukan orang yang diberi keringanan, ia tidak akan dapat mengganti puasanya meski berpuasa terus menerus.”

Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari dalam Al’Ilal Al Kabir (116), oleh Abu Daud dalam Sunannya (2396), oleh Tirmidzi dalam Sunan-nya (723), Imam Ahmad dalam Al Mughni (4/367), Ad Daruquthni dalam Sunan-nya (2/441, 2/413), dan Al Baihaqi dalam Sunan-nya (4/228).

Hadits ini didhaifkan oleh Al Bukhari, Imam Ahmad, Ibnu Hazm dalam Al Muhalla (6/183), Al Baihaqi, Ibnu Abdil Barr dalam At Tamhid (7/173), juga oleh Al Albani dalam Dhaif At Tirmidzi (723), Dhaif Abi Daud (2396), Dhaif Al Jami’ (5462) dan Silsilah Adh Dha’ifah (4557). Namun, memang sebagian ulama ada yang menshahihkan hadits ini seperti Abu Hatim Ar Razi dalam Al Ilal (2/17), juga ada yang menghasankan seperti Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Hidayatur Ruwah (2/329) dan Al Haitsami dalam Majma’ Az Zawaid (3/171). Oleh karena itu, ulama berbeda pendapat mengenai ada-tidaknya qadha bagi orang yang sengaja tidak berpuasa.

Yang benar -wal ‘ilmu ‘indallah- adalah penjelasan Lajnah Daimah Lil Buhuts Wal Ifta (Komisi Fatwa Saudi Arabia), yang menyatakan bahwa “Seseorang yang sengaja tidak berpuasa tanpa udzur syar’i, dia harus bertaubat kepada Allah dan mengganti puasa yang telah ditinggalkannya.” (Periksa: Fatawa Lajnah Daimah no. 16480, 9/191)

Artikel 9 almanhaj.or.id memetik: mengganti puasa
“Barangsiapa yang memiliki tanggungan shaum (puasa) Ramadhân, maka hendaknya dia mengqadha’nya dengan cara berturut-turut dan tidak diputus-putus (selang-seling)”.

Hadits ini dha’if. Hadits ini diriwayatkan oleh Daru Quthni rahimahullah dalam sunannya, 2/191-192 dan al-Baihaqi dalam sunan beliau, 2/259 lewat jalur Abdurrahman bin Ibrahim al Qâsh dari ‘Alâ bin Abdurrahman dari bapaknya dari Abu Hurairah (ia mengatakan), Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: (seperti hadits diatas).

Sanad hadits ini dha’if (lemah), karena Abdurrahman bin Ibrahim al Qâsh adalah seorang rawi yang dha’if (lemah).

Ad-Daaru Quthni rahimahullah mengatakan, “Abdurrahman bin Ibrahim al Qâsh adalah dha’îful hadîts (orang yang haditsnya lemah).”
Al Hâfizh Ibnu Hajar rahimahullah dalam kitabnya Talkhishul Habîr ,2/260, no. 920 mengatakan, “Ibnu Abil Hâtim rahimahullah telah menerangkan bahwa bapaknya iaitu Abu Hâtim telah mengingkari hadits ini karena ada Abdurrahman.”
Al-Baihaqi rahimahullah mengatakan, “Dia (Abdurrahman bin Ibrahim al Qâsh) telah dinilai lemah oleh Ibnu Ma’in rahimahullah, Nasa’i rahimahullah dan Daru Quthni rahimahullah.”
Adz-Dzahabi rahimahullah dalam kitab Mizânul I’tidâl, 2/545, “Diantara hadits-hadits mungkarnya adalah ….. (kemudian beliau rahimahullah membawakan hadits di atas)

Ada juga hadits dha’if lainnya yang bertentangan dengan hadits dha’if di atas yaitu:
“Dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma, beliau Radhiyallahu ‘anhuma mengatakan, “Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda tentang qadha’ Ramadhân, ‘Jika ia mau, dia bisa mengqadha’nya dengan dipisah-pisah (selang-seling) dan jika dia mau, dia juga bisa mengqadha’nya secara beturut-turut (tanpa diselang-seling)”.

Hadits ini dha’if. Hadits ini diriwayatkan oleh Daru Quthni rahimahullah, 2/193 lewat jalur periwayatan Sufyân bin Bisyr, ia mengatakan, ‘Kami telah diberitahu oleh Ali bin Mishar dari Ubaidullah bin Umar dari Nâfi’ dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma, dia mengatakan: (seperti hadits di atas)

Sebatas yang saya ketahui, sanad hadits ini dha’if karena Sufyaan bin Bisyr adalah seorang perawi yang majhûl, sebagaimana telah ditegaskan oleh Syaikh al-Albâni rahimahullah, karena beliau rahimahullah tidak mendapatkan riwayat hidupnya. Kemudian syaikh al-Albâni rahimahullah mengatakan, “Ringkasnya, tidak ada satu pun hadits marfu’ yang sah yang menerangkan (mengqadha’ shaum Ramadhân) dengan selang-seling dan tidak juga berturut-turut. Pendapat yang lebih dekat (kepada kebenaran) ialah boleh mengqadha’ dengan cara keduanya, sebagaimana pendapat Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu. [Lihat Irwâ’ul Ghalîl, 4/97]

Artikel almanhaj.or.id memetik: mengganti puasa
“Barangsiapa yang memiliki tanggungan shaum (puasa) Ramadhân, maka hendaknya dia mengqadha’nya dengan cara berturut-turut dan tidak diputus-putus (selang-seling)”.

Hadits ini dha’if. Hadits ini diriwayatkan oleh Daru Quthni rahimahullah dalam sunannya, 2/191-192 dan al-Baihaqi dalam sunan beliau, 2/259 lewat jalur Abdurrahman bin Ibrahim al Qâsh dari ‘Alâ bin Abdurrahman dari bapaknya dari Abu Hurairah (ia mengatakan), Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: (seperti hadits diatas).

Sanad hadits ini dha’if (lemah), karena Abdurrahman bin Ibrahim al Qâsh adalah seorang rawi yang dha’if (lemah).

Ad-Daaru Quthni rahimahullah mengatakan, “Abdurrahman bin Ibrahim al Qâsh adalah dha’îful hadîts (orang yang haditsnya lemah).”

Al Hâfizh Ibnu Hajar rahimahullah dalam kitabnya Talkhishul Habîr ,2/260, no. 920 mengatakan, “Ibnu Abil Hâtim rahimahullah telah menerangkan bahwa bapaknya iaitu Abu Hâtim telah mengingkari hadits ini karena ada Abdurrahman.”

Al-Baihaqi rahimahullah mengatakan, “Dia (Abdurrahman bin Ibrahim al Qâsh) telah dinilai lemah oleh Ibnu Ma’in rahimahullah, Nasa’i rahimahullah dan Daru Quthni rahimahullah.”

Adz-Dzahabi rahimahullah dalam kitab Mizânul I’tidâl, 2/545, “Diantara hadits-hadits mungkarnya adalah ….. (kemudian beliau rahimahullah membawakan hadits di atas)

Ada juga hadits dha’if lainnya yang bertentangan dengan hadits dha’if di atas yaitu: “Dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma, beliau Radhiyallahu ‘anhuma mengatakan, “Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda tentang qadha’ Ramadhân, ‘Jika ia mau, dia bisa mengqadha’nya dengan dipisah-pisah (selang-seling) dan jika dia mau, dia juga bisa mengqadha’nya secara beturut-turut (tanpa diselang-seling)”.

Hadits ini dha’if. Hadits ini diriwayatkan oleh Daru Quthni rahimahullah, 2/193 lewat jalur periwayatan Sufyân bin Bisyr, ia mengatakan, ‘Kami telah diberitahu oleh Ali bin Mishar dari Ubaidullah bin Umar dari Nâfi’ dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma, dia mengatakan: (seperti hadits di atas)

Sebatas yang saya ketahui, sanad hadits ini dha’if karena Sufyaan bin Bisyr adalah seorang perawi yang majhûl, sebagaimana telah ditegaskan oleh Syaikh al-Albâni rahimahullah, karena beliau rahimahullah tidak mendapatkan riwayat hidupnya. Kemudian syaikh al-Albâni rahimahullah mengatakan, “Ringkasnya, tidak ada satu pun hadits marfu’ yang sah yang menerangkan (mengqadha’ shaum Ramadhân) dengan selang-seling dan tidak juga berturut-turut. Pendapat yang lebih dekat (kepada kebenaran) ialah boleh mengqadha’ dengan cara keduanya, sebagaimana pendapat Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu. [Lihat Irwâ’ul Ghalîl, 4/97]

Artikel 3 belajarislam.com memetik: Menganti puasa
Dari Abu Hurairah radhiyallohu anhu berkata: Rasulullah shallallohu alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang berbuka sehari di bulan Ramadhan tanpa adanya rukhshah (keringanan/udzur yang dibenarkan syariat) dan tidak pula karena sakit maka dia tidak bisa mengqadha (mengganti utang puasa tersebut) walaupun dia berpuasa setahun penuh” [ HR. Tirmidzi (723), Abu Daud (2396), Ibnu Majah (1672), Ahmad (8787) dan Darimi (1666)]

Penjelasan: Hadits ini lemah;
Imam Bukhari telah meriwayatkannya secara mu’allaq dengan sighah tamridh (bentuk periwayatan yang menunjukkan adanya kelemahan pada hadits).
Imam Tirmidzi mengatakan: Saya telah mendengar Muhammad (yaitu Imam Bukhari) berkata: Abul Muthawwis namanya adalah Yazid bin Al Muthawwis, dan saya tidak mengenalinya kecuali pada hadits ini.
Imam Ibnu Hibban mengatakan tidak boleh berhujjah dengan riwayatnya yang dia bersendirian padanya.
 Al Hafizh Ibnu Hajar menilainya sebagai seorang yang layyinul hadits (haditsnya lembek), beliau menyebutkan dua ‘illah (cacat) lain dari hadits ini yaitu adanya ikhtilaf yang banyak dalam periwayatan Habib bin Abu Tsabit berarti haditsnya mudhtharib (guncang) kemudian ‘illah yang ketiga para ulama meragukan apakah Muthawwis memdengarkan langsung dari Abu Hurairah radhiyallohu anhu atau tidak.

Hadits ini telah dilemahkan pula oleh Al ‘Allamah Al Albani rahimahullah dalam beberapa kitab beliau diantaranya: Dhoif Sunan Abi Daud (517), Dhoif Al Jami’ Ash Shogir (5642) dan dalam takhrij Al Misykah (1/626 no. 2013)

Adapun makna dari hadits ini maka sebagian ulama berpegang padanya seperti Ali bin Abi Tholib, Abdullah bin Mas’ud dan Abu Hurairah radhiyallohu anhum dimana mereka mengatakan bahwa orang yang berbuka dengan sengaja tidak diterima puasa qadha’nya walaupun dia membayarnya sepanjang tahun, ulama salaf lainnya seperti Said bin Musayyib, Said bin Jubair dan Qatadah tetap membolehkan mengqadha’ puasanya sesuai dengan jumlah hari yang ditinggalkannya tentu saja diiringi dengan taubat yang nasuha. Wallohu A’lam [ Lihat: Tuhfatul Ahwadzi (3/341) dan Aunul Ma’bud (7/21)]

Hadis 18: Kebebasan dari azab

Artikel 4 darussalaf.or.id memetik: AZAB
Ketika malam pertama bulan Ramadhan, Allah melihat makhluknya, ketika Allah melihat kepada seorang hamba, maka Dia tidak akan mengadzabnya selamanya, dan Allah ‘azza wajalla pada setiap harinya memiliki seribu hamba yang dibebaskan dari neraka.” [3]

Hadits ini adalah hadits yang didustakan atas nama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam (palsu).

Di dalam sanadnya banyak rawi yang majhul (tidak dikenal) dan rawi yang dituduh berdusta yaitu ‘Utsman bin ‘Abdillah Al-Qurasyi Al-Umawi Asy-Syami yang dikatakan oleh para ulama di antaranya:
Al-Juzajani menyatakan bahwa dia adalah kadzdzab (pendusta), suka mencuri hadits.
Abu Mas’ud As-Sijzi menyatakan dia adalah kadzdzab.
Ibnul Jauzi dalam Al-Maudhu’at [II/104], Ibnu ‘Arraq dalam Tanzihusy Syari’ah [II/146], Asy-Syaukani dalam Al-Fawa’id Al-Majmu’ah [hal. 85], dan yang lainnya menghukumi hadits ini sebagai hadits palsu, didustakan atas nama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Lihat Lisanul Mizan [V/147] karya Ibnu Hajar.

Hadis 19: 5 perangai

Artikel 6 darussalaf.or.id memetik: Bau mulut
 “Umatku ini pada bulan Ramadhan diberi lima perangai yang tidak diberikan kepada umat sebelumnya: (1) Bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada aroma misk, (2) Ikan-ikan memintakan ampun untuk mereka sampai berbuka …”

Ini adalah hadits dha’if jiddan (sangat lemah).

Dikeluarkan oleh Ahmad dalam Musnadnya [II/292, 310], Al-Harits bin Usamah dalam Musnadnya [I/410], dan selain keduanya.

Di salam sanadnya terdapat rawi yang bernama Hisyam bin Ziyad bin Abi Zaid yang dikatakan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar sebagai matrukul hadits (ditinggalkan haditnya).

Asy-Syaikh Al-Albani menghukumi hadits ini sebagai hadits dha’if jiddan (sangat lemah), sebagaimana dalam Dha’if At-Targhib Wat Tarhib [586].

Hadis 20: Bercelak.

Artikel 5 belajarislam.com memetik: bercelak
Dari Anas bin Malik radhiyallohu anhu berkata: “Seseorang datang menghadap Nabi shallallohu alaihi wasallam seraya berkata “Mataku sedang sakit apakah boleh aku bercelak sementara aku berpuasa?” Beliau menjawab: “Iya” [HR Tirmidzi (726 )]

Penjelasan: Imam Tirmidzi setelah meriwayatkan hadits ini beliau berkata: “Hadits Anas adalah hadits yang isnadnya tidak kuat dan tidak ada satupun hadits shohih dari Nabi shallallohu alaihi wasallam dalam masalah ini, pada hadits ini ada rowi Abu ‘Atikah sedangkan dia seorang yang dilemahkan”

Abu Atikah yang dimaksud adalah Thorif bin Salman dan ada yang mengatakan Salman bin Thorif, dia telah meriwayatkan hadits dari Anas. Abu Hatim mengatakan tentangnya: “Dzahibul Hadits” (haditsnya pergi/ditinggalkan). Imam Bukhori mengatakan: Munkarul Hadits, Nasai mengatakan dia bukan seorang yang tsiqoh (terpercaya). Daraqutni berkata: dhoif (lemah). Bahkan Sulaimani menyebutkan orang tersebut sebagai salah satu dari yang dikenal sebagai pemalsu hadits. Adapun Ibnu Hajar beliau menilai sebagai dhoif dan menganggap hukum yang ditetapkan Sulaimani berlebihan.

Tirmidzi menuturkan: “Para ulama telah berbeda pendapat tentang hukum bercelak bagi orang yang berpuasa; sebagian ulama seperti Sufyan, Ibnu Mubarak, Ahmad dan Ishaq memakruhkannnya dan sebagian ulama yang lain memberikan keringanan akan kebolehannya dan ini adalah pendapat Imam Syafi’i”

Dan -Insya Allah- pendapat Imam Syafi’i inilah yang benar, karena Abu Daud telah meriwayatkan dalam sunannya dengan sanad yang hasan bahwa Anas radhiyallohu anhu pernah bercelak pada saat berpuasa. Yang serupa dengan ini hukum tetes mata hal ini juga tidak mengapa karena mata bukanlah pengantar untuk ke perut. Tetes dan celak keduanya tidak termasuk makanan dan minuman serta tidak mengambil hukum keduanya. (Lihat Fatawa Al Lajnah Ad Daimah 10: 250-253)

Hadis 21: Bersiwak

Artikel 4 belajarislam.com memetik: Bersiwak
 Dari ‘Amir bin Rabi’ah radhiyallohu anhu berkata: “Saya telah melihat Nabi shallallohu alaihi wasallam bersiwak dalam jumlah yang tidak mampu saya hitung padahal beliau sementara berpuasa” [HR. Tirmidzi (116), Abu Daud (2634), Daraquthni dan Baihaqi (4/272)]

Penjelasan: Hadits ini lemah sanadnya; diriwayatkan oleh para imam yang disebutkan di atas dari jalur ‘Ashim bin Ubaidullah dari Abdullah bin ‘Amir bin Rabi’ah dari ayahnya. Imam Ad Daraquthni berkata: Ashim bin Ubaidullah dan selainnya lebih kuat darinya. Baihaqi berkata: Dia bukan seorang yang kuat. Ulama-ulama lain seperti Ahmad bin Hanbal, Yahya bin Ma’in dan Muhammad bin Sa’ad juga telah membicarakannya. Bukhari berkata: Munkarul hadits (haditsnya mungkar). Al Hafizh Ibnu Hajar juga menilainya sebagai seorang yang dhaif.

Namun hal ini tidaklah berarti bahwa tidak boleh menggunakan siwak pada saat berpuasa. Imam Abu Isa At Tirmidzi berkata setelah menyebutkan hadits ini: “Makna hadits ini telah diamalkan oleh para ulama, dimana mereka memandang tidak mengapa seorang yang berpuasa untuk bersiwak namun demikian ada sebagian ulama yang memakruhkan bersiwak bagi orang yang berpuasa dengan menggunakan siwak yang beraroma dan siwak yang basah pada siang hari. Adapun Imam Syafi’i beliau memandang tidak mengapa bersiwak baik itu pada pagi hari maupun pada siang hari. Imam Ahmad dan Ishaq telah memakruhkan bersiwak pada waktu siang”

Hadits ini juga telah diriwayatkan oleh Thabrani sebagaimana yang terdapat dalam At Ta’liq Al Mugni dari Abdurrahman bin Ghunaim beliau berkata: Saya telah bertanya kepada Muadz bin Jabal: “Apakah (boleh) saya bersiwak sementara saya berpuasa? Muadz menjawab: Iya. Aku bertanya lagi: “Kapan aku boleh bersiwak?” Beliau menjawab: “Kapan saja baik waktu pagi maupun petang”. Saya berkata lagi sesungguhnya sebagian manusia memakruhkannya dengan beralasan bahwa Rasulullah shallallohu alaihi wasallam bersabda:
 Sungguh bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah dari bau kesturi”

Beliau (Mu’adz) berkata: “Maha Suci Allah, beliau telah menyuruh mereka bersiwak karena beliau tahu bahwa mulut orang yang berpuasa pasti memiliki bau (walaupun telah bersiwak)”. Al Hafizh Ibnu Hajar dalam kitabnya At Talkhish Al Habir (2/202 no 908) mengatakan bahwa riwayat Muadz ini sanadnya baik.

Al Albani rahimahullah dalam buku beliau Al Irwa’ (1/107) mengatakan setelah beliau menyebut perkataan Syafi’i: “Dan inilah pendapat yang benar berdasarkan keumuman dalil, seperti hadits yang akan disebutkan selanjutnya yang menganjurkan bersiwak setiap shalat dan setiap wudhu, pendapat ini pula yang dipegangi oleh Bukhari dalam kitab Shohinya walaupun beliau mengisyaratkan akan kelemahan hadis Amir ini”

Hadis 22: Salam Aied

Artikel 11 www.muslim.or.id memetik: Salam Aied Wa’ilah berkata, “Aku bertemu dengan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pada hari Ied, lalu aku berkata: Taqabbalallahu minna wa minka.” Beliau bersabda: “Ya, Taqabbalallahu minna wa minka.”

Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam Al Majruhin (2/319), Al Baihaqi dalam Sunan-nya (3/319), Adz Dzahabi dalam Al Muhadzab (3/1246)

Hadits ini didhaifkan oleh Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil Fid Dhuafa (7/524), oleh Ibnu Qaisirani dalam Dzakiratul Huffadz (4/1950), oleh Al Albani dalam Silsilah Adh Dhaifah (5666).

Yang benar, ucapan ‘Taqabbalallahu Minna Wa Minka’ diucapkan sebagian sahabat berdasarkan sebuah riwayat: Para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasanya ketika saling berjumpa di hari aied mereka mengucapkan: Taqabbalallahu Minna Wa Minka (Semoga Allah menerima amal ibadah saya dan amal ibadah Anda)”

Atsar ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Al Mughni (3/294), dishahihkan oleh Al Albani dalam Tamamul Minnah (354). Oleh karena itu, boleh mengamalkan ucapan ini, asalkan tidak diyakini sebagai hadits Nabi shallallahu’alaihi wa sallam.

Hadis 23: Zakat Badan

Artikel almanhaj.or.id memetik: zakat badan
 Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia mengatakan, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Segala sesuatu itu ada zakatnya. Zakat badan adalah puasa. Puasa itu separuh kesabaran.” [HR. Ibnu Mâjah, no. 1745 lewat jalur Musa bin Ubaidah dari Jumhân dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu]

Sanad hadits ini lemah, karena Musa bin Ubaidah dinilai haditsnya lemah oleh sekelompok ulama ahli hadits, sebagaimana dijelaskan dalam kitab Tahdzîb, 10/318-320. Beliau ini seorang yang shalih dan ahli ibadah, akan tetapi lemah dalam periwayatan hadits.

Al-Hâfizh dalam kitab Taqrîbnya mengatakan, “Dha’if.”

Hadis 24 Ramadhan bulan kesabaran

Artikel almanhaj.or.id memetik: bulan kesabaran
Hadits yang sah tentang hal ini adalah riwayat yang menjelaskan bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada seorang lelaki dari suku Bahilah dalam hadits yang panjang, dalam hadits yang panjang tesrbut terdapat kalimat:
Berpuasalah pada bulan kesabaran yaitu Ramadhân”. [HR Imam Ahmad dengan sanad yang shahih]

Hadits yang lain yaitu hadits yang diriwayatkan lewat jalur Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang bulan Ramadhân:
bulan kesabaran (Ramadhan)”.
Dikeluarkan oleh Imam Ahmad rahimahullah (2/263, 384 dan 513), juga dikeluarkan oleh Imam Nasa’i rahimahullah (3/218-219). Dan hadits lain lewat jalur periwayatan a’rabiyûn sebagaimana dalam Majma’uz Zawâid (3/196) oleh al Haitsami rahimahullah.

Artikel 2 almanhaj.or.id memetik: Puasa itu kesabaran dan kesucian
“Puasa itu setengah kesabaran dan kesucian itu setengahnya iman”.

Dhaif. Hadits ini diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, no. 3519 dalam Kitab ad-Dâ’awât, juga diriwayatkan oleh imam Ahmad dalam Musnad beliau rahimahullah (4/260 dan 5/363) lewat jalur periwayatan Juraisy an-Nahdy dari seorang laki-laki bani (suku) Sulaim.

Sanad hadits ini dha’if, karena Juraisy bin Kulaib ini adalah seorang yang majhûl (tidak dikenal), sebagaimana dikatakan oleh Imam Ibnul Madini rahimahullah (lihat, Tahdzîbut Tahdzîb, 2/78 karya Ibnu Hajar rahimahullah).

RUJUKAN:
1.    https://muslim.or.id/1334-12-hadits-lemah-dan-palsu-seputar-ramadhan.html Yulian Purnama, Muraja’ah: Ustadz Abu Ukkasyah Aris Munandar 22 July 2010
4.    https://almanhaj.or.id  /3950-hadits-hadits-dhaif-maudhu-yang-banyak-beredar-pada-bulan-ramadhan.html  Oleh Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat, 30 June 2014  in category Fiqih : Puasa
5.    http://tajdid-dakwah.blogspot.com /2010/08/hadith-palsu-tentang-doa-malaikat.html, 12 August 2010,Hadith PALSU tentang Do'a malaikat Jibril menjelang Ramadhan...
6.    https://darussalaf.or.id /hadits-hadits-palsu-dan-lemah-yang-sering-disebut-di-bulan-ramadhan/, Abu Zur’ah Sulaiman bin ‘Ali bin Syihab As-Salafy. 15/09/2012
7.    http://isma.org. my/v2/amalan-bermaafan-sebelum-tiba-ramadhan-mubarak/, Ustaz Abdul Rahman (AL-RAIS), May 25, 2017

Tiada ulasan: