.
Artikel www.muslim.or.id
memetik: Keperluan SANAD Islam adalah agama yang
ilmiah. Setiap amalan, keyakinan, atau ajaran yang
disandarkan kepada Islam harus memiliki dasar dari Al Qur’an dan Hadits Nabi
shallallahu’alaihi wa sallam yang otentik. Dengan ini, Islam tidak memberi
celah kepada orang-orang yang beritikad buruk untuk menyusupkan
pemikiran-pemikiran atau ajaran lain ke dalam ajaran Islam. Karena pentingnya
hal ini, tidak heran apabila Abdullah bin Mubarak rahimahullah
mengatakan perkataan yang terkenal: “Sanad adalah bagian dari agama. Jika tidak
ada sanad, maka orang akan berkata semaunya.” (Lihat
dalam Muqaddimah Shahih Muslim, Juz I, halaman 12)
Dengan adanya sanad, suatu
perkataan tentang ajaran Islam dapat ditelusuri asal-muasalnya.
Oleh karena itu, penting
sekali bagi umat muslim untuk memilah hadits-hadits, antara yang shahih dan
yang dhaif, agar diketahui amalan mana yang seharusnya diamalkan karena memang
diajarkan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam serta amalan mana yang
tidak perlu dihiraukan karena tidak pernah diajarkan oleh beliau.
Berkaitan dengan bulan
Ramadhan yang penuh berkah ini, akan kami sampaikan beberapa hadits lemah dan palsu mengenai puasa
yang banyak tersebar di masyarakat. Untuk memudahkan pembaca, kami tidak
menjelaskan sisi kelemahan hadits, namun hanya akan menyebutkan kesimpulan para
pakar hadits yang menelitinya. Pembaca yang ingin menelusuri sisi kelemahan
hadits, dapat merujuk pada kitab para ulama yang bersangkutan.
TINGGALKAN
PERBUATAN MENYEBAR HADIS PALSU:
Barangsiapa yang dengan sengaja berdusta ke atas aku, maka
tersedialah baginya tempat duduk dari api neraka. [Hadis Sahih (Mutawattir): Dikeluarkan Imam
al-Bukhari, Imam Muslim, Ibn Majah, ad-Darimi dan lain-lain. Lihat Sahih al-Bukhari, hadis no – 109
(Kitab al-Ilm, Bab dosa berdusta keatas Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam).
Dikeluarkan Imam Muslim di dalam Sahih Muslim, hadis no – 3 dan 4 (Muqaddimah -
Bab berdusta keatas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam).]
Barangsiapa yang menceritakan dariku satu hadis yang ia
sangka, sesungguhnya hadis tersebut dusta/palsu, maka ia termasuk salah seorang
dari para pendusta. [ Hadis Sahih: Dikeluarkan Muslim,
Ibnu Majah, Tirmidzi, Ahmad. Lihat
Muqaddimah Sahih Muslim. Lihat juga Musnad Ahmad (Hadis Daripada Samuroh Bin
Jundud radhiallahu ‘anh) dengan lafaz yang sedikit berbeza.]
Artikel DrRozaimiRamle
@facebook.com memetik: Rasulullah sallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda: Janganlah berdusta
menggunakan diri ku, sesungguhnya sesiapa yang berdusta menggunakan diri ku
nescaya akan masuk neraka [hadis no:2]
Sesiapa yang dengan sengaja berdusta menggunakan diri ku,
maka dia menempah tempat duduk dalam neraka [hadis no: 4]
Cukuplah seseorang dianggap berdusta apabila dia
menyampaikan setiap apa yang dia dengar [hadis no: 7]
Terdapat banyak lagi riwayat
yang disebutkan oleh Imam Muslim dalam Muqadimah Sahihnya. Ini
hanyalah sebahagian kecil sahaja.
Hadis-hadis melarang berdusta
atas nama Nabi sallallahu 'alaihi wa sallam atau mereka-reka hadis adalah mutawatir.
Ia merupakan dosa besar. Kita tidak perlukan hadis palsu ini.
Sebagaimana sabda Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam: “Barangsiapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja, maka hendaknya dia
mempersiapkan tempat duduknya di neraka.” [Muttafaqun
‘Alaihi dari shahabat Abu Hurairah, Al-Mughirah bin Syu’bah, dan yang lainnya]
SENARAI
HADIS
Bagi memudahkan rujukan
penulis membuat senarai rengkas, tapi
kesimpulan menghukum hadis itu penulis memohon maaf jika kefahaman penulis
Khilaf, sila rujuk teks asal.
Hadis 1: Bulan umat: Dhaif Jiddan
Hadis 2: Kelebihan
Ramadan, a) Bulan yang baik, Dhaif,
b) Ibadah sunah seolah olah ibadah wajib. Ibadah wajib diganda 70 kali (lemah). c) Bulan kesabaran dan tolong
menolong. D) Memberi makan, Juga dalam
hadis 9. e) Terbahagi 3 bahagian. Juga
dalam hadis 4
Hadis 3: Panggilan
Bulan Ramadhan, Dhaif
Hadis 4: Mengharap
ramadan sepanjang tahun: Maudhuk
Hadis 5: Ramadhan
terbahagi 3: Dhaif/munkar
Hadis 6: Tidur orang
puasa ibadah. Daif
Hadis 7: Batal puasa, Palsu
Hadis 8: Puasa itu
sihat, Dhaif
Hadis 9: Memberi makan
orang berpuasa, Dhaif
Hadis 10: Jihad melawan
nafsu, Palsu
Hadis 11: Doa rejab saaban,
lemah
Hadis 12: Zakat fitrah,
Dhaif.
Hadis 13: Doa Jibril dipalsukan ada sanad sahih.
Hadis 14: Ganjaran
puasa dan tarawih, a) puasa b) Fadilat tarawih 30 malam
Hadis 15: Keutamaan
iktikaf, Dhaif.
Hadis 16: Doa berbuka, palsu. juga ada hadis sahih dan fatwa membolehkan keduanya.
Hadis 17: Mengganti
puasa, lemah juga ada fatwa
Hadis 18: Kebebasan
dari azab dusta
Hadis 19: 5 perangai a)
bau mulut juga dalam hadis 21. b) ikan meminta ampun… dhaif jiddan
Hadis 20: Bercelak, tidak kuat.
Hadis 21: Bersiwak, lemah sementara bau mulut sanad yang baik
Hadis 22: Salam Aied dhaif
Hadis 23: Zakat Badan dhaif.
Hadis 24: Bulan
kesabaran dan kesucian daif, juga ada hadis sahih.
Hadis 1: Bulan Umat
Artikel 8 www.muslim.or.id memetik: Bulan Umatku
“Rajab adalah bulan Allah, Sya’ban adalah
bulanku, dan Ramadhan adalah bulan
umatku.” Hadits ini diriwayatkan oleh Adz Dzahabi dalam Tartibul Maudhu’at (162,183), Ibnu
Asakir dalam Mu’jam Asy
Syuyukh (1/186).
Hadits ini didhaifkan oleh Asy Syaukani dalam
Nailul Authar (4/334), dan Al Albani dalam Silsilah Adh Dhaifah (4400).
Bahkan hadits ini dikatakan hadits palsu
oleh banyak ulama seperti Adz Dzahabi dalam Tartibul Maudhu’at (162, 183), Ash Shaghani dalam
Al Maudhu’at (72), Ibnul Qayyim dalam Al Manaarul Munif (76), Ibnu Hajar Al Asqalani dalam
Tabyinul Ujab (20).
Artikel 2 darussalaf.or.id
memetik: Bulan umat
“Rajab adalah bulan Allah, Sya’ban adalah
bulanku, dan Ramadhan adalah bulan
umatku.” Hadits ini adalah hadits yang didustakan
(palsu) atas nama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Dalam sanadnya terdapat
rawi yang bernama Abu Bakr An-Naqqasy. Tentang
rawi yang satu ini, para ulama telah menjelaskan keadaannya, di antaranya:
Thalhah bin
Muhammad Asy-Syahid mengatakan bahwa Abu
Bakr An-Naqqasy suka memalsukan
hadits, dan kebanyakannya tentang kisah-kisah.
Abul Qasim
Al-Lalika’i mengatakan bahwa tafsir dari Abu
Bakr An-Naqqasy justru akan mencelakakan
hati, tidak menjadi obat bagi hati-hati ini.
Dan di dalamnya juga
terdapat rawi yang bernama Al-Kisa’i yang
dikatakan oleh Ibnul Jauzi sebagai rawi yang majhul (tidak dikenal).
Hadits ini diriwayatkan
oleh Abul Fath bin Al-Fawaris dalam Al-Amali dari Al-Hasan Al-Bashri secara mursal.
Al-Hafizh
Al-’Iraqi mengatakan dalam
Syarh At-Tirmidzi: “Ini adalah hadits dha’if jiddan (sangat lemah), dan dia termasuk hadits-hadits mursal yang diriwayatkan dari Al-Hasan (Al-Bashri), kami meriwayatkannya dari Kitab At-Targhib Wat Tarhib karya
Al-Ashfahani, hadits-hadits
mursal yang diriwayatkan dari Al-Hasan (Al-Bashri)
tidak bernilai (shahih) menurut Ahlul Hadits, dan tidak ada satu hadits pun
yang menyebutkan tentang keutamaan bulan Rajab.”
Ibnul Jauzi dalam kitabnya Al-Maudhu’at [II/117], Adz-Dzahabi dalam
Tarikhul Islam [I/2990], dan Asy-Syaukani dalam Al-Fawa’id Al-Majmu’ah [hal. 95]
menghukumi bahwa hadits ini adalah hadits
palsu, didustakan atas nama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Lihat Lisanul Mizan [VI/202] karya Ibnu
Hajar.
Hadis 2: Kelebihan
Ramadhan
Artikel 8 almanhaj.or.id memetik: bulan lebih baik
“Tidak
ada bulan yang datang kepada kaum Muslimin yang
lebih baik daripada Ramadhân. dan tidak datang kepada kaum Munafiqin bulan
yang lebih buruk daripada bulan Ramadhân”.
Hadits ini dha’if. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad rahimahullah (2/330, dalam Fathurrabbani, 9/231-232), Ibnu Khuzaimah, no.
1884
dan lain-lainnya. Semua riwayat ini melalui jalur periwayatan Katsîr bin Zaid rahimahullah dari Amr bin Tamim dari bapaknya dari Abu Hurairah secara marfu’
Al-Haitsami
rahimahullah dalam
kitabnya Majma’uz Zawâid, 3/140-141 mengatakan, “Hadits ini
diriwayatkan oleh Imam Ahmad rahimahullah dan Thabrani rahimahullah dalam
kitabnya al-Ausath dari Tamîm dan
aku tidak menemukan riwayat hidup Tamîm.”
Maksudnya Tamîm (bapaknya Amr) seorang perawi yang majhûl.
Dalam
kitab Mizânul I’tidâl, 3/249, adz
Dzahabi rahimahullah mengatakan, “Amr bin Tamim dari bapaknya dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu tentang keutamaan
bulan Ramadhân. Dan dari Amr, hadits ini
diriwayatkan oleh Katsîr bin Zaid. Tentang Amr bin Tamim, Imam Bukhâri rahimahullah mengatakan, ‘Haditsnya perlu diteliti (Fi hadîtsihi
nazhar).”
Ini adalah salah satu
istilah Imam Bukhâri dalam mengkritik dan menerangkan
cacat perawi yang sangat halus akan tetapi makna dan maksudnya dalam
sekali. Apabila Imam Bukhâri mengatakan, “Fiihi nazhar atau fi haditsihi
nazhar, maka perawi itu derajatnya lemah
atau bahkan sangat lemah.”
Artikel 3 darussalaf.or.id memetik:
kelebihan Ramadhan Albaihaqi
“Wahai sekalian manusia, sungguh hampir
datang kepada kalian bulan yang agung dan penuh barakah, di dalamnya terdapat
satu malam yang lebih baik daripada 1000 bulan, Allah wajibkan untuk berpuasa
pada bulan ini, dan Allah jadikan shalat pada malam harinya sebagai amalan yang
sunnah, barangsiapa yang dengan rela melakukan kebajikan pada bulan itu, maka
dia seperti menunaikan kewajiban pada selain bulan tersebut …, dan dia
merupakan bulan yang awalnya adalah kasih sayang, pertengahannya adalah ampunan,
dan akhirnya adalah pembebasan dari api neraka.”
Hadits ini adalah hadits munkar, dikeluarkan oleh Ibnu
Khuzaimah dalam Shahihnya
[III/191], dan beliau mengatakan: “Jika haditsnya shahih.” Maksud ungkapan ini adalah
bahwa Al-Hafizh Ibnu Khuzaimah ragu
(tidak memastikan) penshahihan hadits ini karena derajat sanadnya yang rendah (tidak sampai derajat shahih), maka
jangan ada seorangpun yang mengira bahwa hadits ini shahih menurut Ibnu
Khuzaimah. Lihat Tadribur Rawi
[I/89] karya As-Suyuthi.
Hadits ini juga
dikeluarkan oleh Al-Baihaqi dalam
Syu’abul Iman [III/305], Al-Harits bin Usamah dalam Musnadnya [I/412], dan
yang lainnya.
Di dalam sanadnya
terdapat rawi yang bernama ‘Ali bin Zaid bin Jud’an yang dikatakan oleh para
ulama, di antaranya:
Ibnu Khuzaimah
mengatakan bahwa dia tidak boleh dijadikan hujjah karena jeleknya hafalan dia.
Al-Bukhari mengatakan
bahwa dia tidak boleh dijadikan hujjah.
Di dalam sanadnya juga
terdapat rawi yang bernama Iyas bin Abi Iyas yang dikatakan oleh para ulama, di
antaranya:
Adz-Dzahabi mengatakan
bahwa dia adalah rawi yang tidak dikenal.
Al-’Uqaili mengatakan
bahwa dia adalah rawi yang majhul
(tidak dikenal) dan haditsnya tidak mahfuzh
(yakni syadz/ganjil).
Abu Hatim mengatakan:
“Ini adalah hadits Munkar.” (Al-’Ilal karya Ibnu Abi Hatim [I/249]).
Lihat Lisanul Mizan [II/169] karya Ibnu Hajar, As-Siyar [V/207] karya
Adz-Dzahabi, dan As-Silsilah Adh-Dha’ifah [II/262] karya Asy-Syaikh Al-Albani.
Artikel 3 www.muslim.or.id
memetik: Kelebihan Ramadhan Khuzaimah
“Wahai
manusia, bulan yang agung telah
mendatangi kalian. Di dalamnya terdapat satu malam yang lebih baik dari 1,000 bulan. Allah menjadikan puasa pada
siang harinya sebagai sebuah kewajiban, dan menghidupkan malamnya sebagai
ibadah tathawwu’ (sunnah). Barangsiapa pada bulan itu mendekatkan diri (kepada
Allah) dengan satu kebaikan, ia seolah-olah
mengerjakan satu ibadah wajib pada bulan yang lain. Barangsiapa mengerjakan
satu perbuatan wajib, ia seolah-olah
mengerjakan 70 kebaikan di bulan yang lain.
Ramadhan adalah bulan kesabaran, sedangkan kesabaran
itu balasannya adalah surga. Ia (juga) bulan
tolong-menolong. Di dalamnya rezki seorang mukmin ditambah.
Barangsiapa pada bulan
Ramadhan memberikan hidangan berbuka
kepada seorang yang berpuasa, dosa-dosanya akan diampuni, diselamatkan dari api
neraka dan memperoleh pahala seperti orang yang berpuasa itu, tanpa mengurangi
pahala orang yang berpuasa tadi sedikitpun” Kemudian para sahabat berkata,
“Wahai Rasulullah, tidak semua dari kita memiliki makanan untuk diberikan
kepada orang yang berpuasa.”
Rasulullah
Shallallahu’alaihi Wasallam berkata, “Allah memberikan pahala tersebut kepada
orang yang memberikan hidangan berbuka
berupa sebutir kurma, atau satu
teguk air atau sedikit susu.
Ramadhan adalah bulan
yang permulaannya rahmat, pertengahannya maghfirah (ampunan) dan akhirnya pembebasan dari api neraka.”
Hadits ini diriwayatkan
oleh Ibnu Khuzaimah (1887), oleh Al Mahamili dalam
Amaliyyah (293), Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil Fid Dhu’afa
(6/512),
Al Mundziri dalam
Targhib Wat Tarhib (2/115)
Hadits ini didhaifkan oleh para pakar hadits
seperti Al Mundziri dalam
At Targhib Wat Tarhib (2/115), juga didhaifkan oleh Syaikh Ali Hasan Al Halabi dalam Sifatu Shaumin Nabiy (110),
bahkan dikatakan oleh
Abu Hatim Ar Razi dalam
Al ‘Ilal (2/50) juga Al Albani dalam
Silsilah Adh Dhaifah (871) bahwa hadits ini Munkar.
Penjelasan:
sebenarnya di seluruh waktu di bulan Ramadhan terdapat rahmah, seluruhnya
terdapat ampunan Allah dan seluruhnya terdapat kesempatan bagi seorang mukmin
untuk terbebas dari api neraka, tidak hanya sepertiganya. Salah satu dalil yang
menunjukkan hal ini adalah: “Orang yang puasa Ramadhan karena iman dan
mengharap pahala, akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Bukhari
no.38, Muslim, no.760)
Dalam hadits ini,
disebutkan bahwa ampunan Allah tidak dibatasi hanya pada pertengahan Ramadhan
saja. Lebih jelas lagi pada hadits yang diriwayatkan oleh At Tirmidzi,
Rasulullah bersabda: “Pada
awal malam bulan Ramadhan, setan-setan
dan jin-jin jahat dibelenggu, pintu neraka ditutup, tidak ada satu pintu
pun yang dibuka. Pintu surga dibuka, tidak ada satu pintu pun yang ditutup.
Kemudian Allah menyeru: ‘wahai penggemar kebaikan, rauplah sebanyak mungkin,
wahai penggemar keburukan, tahanlah dirimu’.
Allah pun memberikan pembebasan dari neraka bagi hamba-Nya. Dan itu
terjadi setiap malam” (HR. Tirmidzi 682, dishahihkan
oleh Al Albani dalam
Shahih At Tirmidzi)
Penjelasan: Adapun
mengenai apa yang diyakini oleh sebagian orang, bahwa setiap amalan sunnah kebaikan di bulan Ramadhan
diganjar pahala sebagaimana amalan wajib, dan amalan wajib diganjar dengan 70 kali lipat pahala ibadah wajib
diluar bulan Ramadhan, keyakinan ini tidaklah
benar berdasarkan hadits yang lemah ini. Walaupun keyakinan ini tidak
benar, sesungguhnya Allah ta’ala melipat gandakan pahala amalan kebaikan
berlipat ganda banyaknya, terutama ibadah puasa di bulan Ramadhan.
Hadis 3: Panggilan
Ramadhan
Artikel 6 www.muslim.or.id memetik: Panggilan Ramadhan
“Jangan
menyebut dengan ‘Ramadhan’ karena ia adalah salah satu nama Allah, namun
sebutlah dengan ‘Bulan Ramadhan.'”
Hadits ini diriwayatkan
oleh Al Baihaqi dalam
Sunan-nya (4/201), Adz Dzaahabi dalam Mizanul I’tidal (4/247), Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil Fid Dhu’afa (8/313), Ibnu
Katsir dalam Tafsir-nya
(1/310).
Ibnul Jauzi dalam Al Maudhuat (2/545)
mengatakan hadits ini palsu. Namun,
yang benar adalah sebagaimana yang dikatakan oleh As Suyuthi dalam An Nukat
‘alal Maudhuat (41) bahwa “Hadits ini
dhaif, bukan palsu”. Hadits ini juga didhaifkan
oleh Ibnu ‘Adi dalam
Al Kamil Fid Dhu’afa (8/313), An Nawawi dalam Al Adzkar (475), oleh
Ibnu Hajar Al Asqalani dalam
Fathul Baari (4/135) dan Al Albani dalam
Silsilah Adh Dhaifah (6768).
Yang benar adalah boleh
mengatakan ‘Ramadhan’ saja, sebagaimana pendapat jumhur ulama karena banyak
hadits yang menyebutkan ‘Ramadhan’ tanpa ‘Syahru (bulan)’.
Hadis 4: Ramadhan
sepanjang tahun
Artikel 7 almanhaj.or.id memetik: mengharap Ramadhan
ibnu khuzaimah
“Sekiranya manusia mengetahui apa yang ada
pada buan Ramadhân, niscaya semua umatku berharap
agar Ramadhân itu sepanjang tahun”.
Maudhu’. Ini
diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah rahimahullah, no. 1886 lewat jalur periwayatan
Jarîr bin Ayyûb al Bajali, dari asy-Sya’bi dari Nâfi’ bin Burdah, dari Abu
Mas’ud al-Ghifari ia mengatakan, “Suatu hari, aku mendengar Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, “(lalu beliau menyebutkan hadits
diatas).
Imam Ibnul Jauzi
rahimahullah membawakan hadits di atas dalam
kitab beliau rahimahullah al-Maudhû’ât, 2/189 lewat jalur
periwayatan Jarîr bin Ayyûb al Bajali dari Sya’bi dari Nâfi’ bin Burdah dan
Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu. kemudian beliau rahimahullah
mengatakan, “Hadits ini maudhû’
(palsu) dipalsukan atas nama Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Orang
yang tertuduh telah memalsukan hadits ini adalah Jarîr bin Ayyûb.
Yahya rahimahullah
mengatakan, ‘Orang-orang ini tidak ada
apa-apanya (laisa bi syai-in).’
Fadhl bin Dukain
rahimahullah mengatakan, ‘Dia termasuk orang yang biasa memalsukan hadits.’
An-Nasa’i dan Daru
Quthni rahimahullah mengatakan, ‘Matrûk
(orang yang haditsnya tidak dianggap).'”
Imam Syaukani
rahimahullah dalam
kitab al-Fawâ-idul Majmû’ah Fil Ahâdîtsil Maudhû’ah, no. 254 mengomentari
hadits diatas, “Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Ya’la rahimahullah lewat jalur
Abdullah bin Mas’ûd Radhiyallahu ‘anhu secara marfuu. Hadits ini maudhû
(palsu). Kerusakannya ada pada Jarîr bin Ayyûb dan susunan lafazhnya merupakan
susunan yang bisa dinilai oleh akal bahwa itu adalah hadits palsu.’
Artikel 1 darussalaf.or.id memetik: mengharap Ramadan ibnu khuzaimah
“Kalau
seandainya hamba-hamba itu tahu apa yang ada pada bulan Ramadhan
(keutamaannya), maka niscaya umatku ini akan berangan-angan bahwa satu tahun itu adalah bulan Ramadhan
seluruhnya.”
Hadits ini adalah
hadits yang didustakan atas nama
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam (palsu).
Hadits ini diriwayatkan
oleh Ibnu Khuzaimah dalam
Shahihnya [III/190], Abu Ya’la Al-Mushili dalam Musnadnya [IX/180], dan
selain keduanya.
Di dalam sanadnya
terdapat rawi yang bernama Jarir bin Ayyub. Tentang rawi yang satu ini, para
ulama telah menjelaskan keadaannya, di antaranya:
Abu Nu’aim Al-Fadhl bin
Dukain mengatakan bahwa dia suka memalsukan
hadits.
Al-Bukhari, Abu Hatim,
dan Abu Zur’ah mengatakan bahwa dia adalah Munkarul
Hadits.
Ibnu Khuzaimah
mengatakan: “Jika haditsnya shahih
…”
Ibnul Jauzi dalam kitabnya Al-Maudhu’at [II/103] dan
juga Asy-Syaukani dalam Al-Fawa’id Al-Majmu’ah [hal. 74]
menghukumi dia (Jarir bin Ayyub) adalah perawi yang suka memalsukan hadits -yakni pendusta. Lihat
Lisanul Mizan [II/302] karya Ibnu Hajar.
Artikel 7 belajarislam.com memetik: sepanjang tahun khuzaimah
Dari Abu Mas’ud Al
Ghifari radhiyallohu anhu berkata: “Saya telah mendengar Rasulullah shallallohu
alaihi wasallam bersabda pada suatu hari ketika bulan Ramadhan telah datang:
“Seandainya para hamba mengetahui apa (hakikat) bulan Ramadhan maka tentu ummatku
menginginkan Ramadhan itu sepanjang
tahun,… sesungguhnya surga berhias untuk bulan Ramadhan di setiap penghujung
tahun ke tahun berikutnya …..”
[HR Ibnu Khuzaimah dalam shohihnya (1886),
Ibnul Jauzi dalam
kitab Al Maudhu’at (2/547) dan Abu Ya’la dalam Musnadnya sebagaimana
yang disebutkan dalam Al Mathalib Al Aliyah]
Penjelasan:
Para
Imam tersebut meriwayatkan hadits ini dari jalur Jarir bin Ayyub Al Bajali dari
Sya’bi dari Nafi’ bin Burdah dari Abu Mas’ud Al Ghifari. Kedudukan hadits ini palsu, penyebabnya adalah Jarir bin
Ayyub; Ibnu Hajar menyebutkan dalam
Lisanul Mizan (2:101) bahwa dia terkenal akan kelemahannya, kemudian
beliau menukil perkataan Abu Nu’aim tentangnya bahwa dia pernah memalsukan hadits. Bukhori berkata:
Munkarul Hadits dan Nasai mengatakan: Matruk
(ditinggalkan). Ibnu Jauzi juga menilai hadits ini sebagai hadits yang palsu. Ibnu Khuzaimah sendiri meragukannya sehingga beliau berkata: “Jika hadits ini benar karena hati ini meragukan Jarir bin Ayyub Al
Bajali”
Hadis 5: Ramadhan terbahagi
3
Artikel
abuanasmadani.blogspot.com memetik:
Hadis Ramadhan 3 Bahagian.
Adapun para muhaddis
yang mempermasalahkan riwayat ini antara lain:
1. Imam As-Suyuthi. Beliau mengatakan bahwa hadis ini dhaif (lemah periwayatannya). [Al-Jami’
Al-Saghir]
2.
Syeikh Al-Albani. Beliau mengatakan bahwa riwayat ini statusnya munkar.
Jadi sebenarnya antara
keduanya tidak terjadi pertentangan. Hadis
munkar sebebarnya termasuk ke dalam jajaran
hadis dhaif juga. Sebagai hadis munkar, dia menempati urutan ketiga setelah
hadis matruk (semi palsu) dan maudhu' (palsu). [Lihat: Dhaif Al-Jami’ Al-Saghir, No. 2135
“Dhaif Jiddan’]
Sementara sanadnya
adalah: 1. Sallam bin Sawwar. 2.
dari Maslamah bin Shalt. 3. dari
Az-Zuhri. 4. dari Abu Salamah. 5. dari Abu Hurairah. 6. dari Nabi SAW.
Dari rangkaian para
perawi di atas, perawi yang pertama dan kedua bermasalah. Yaitu Sallam bin
Sawwar dan Maslamah bin Shalt. Sallam bin Sawwar disebut oleh Ibnu Ady, seorang
kritikus hadis, sebagai munkarul hadis.
Sedangkan oleh Imam Ibnu Hibban, dikatakan bahwa hadisnya tidak boleh dijadikan
hujjah (pegangan), kecuali bila ada rawi lain yang meriwayatkan hadisnya.
Perkataan Ibnu Hibban ini disebut dalam kitab Al-Majruhin.
Sedangkan Maslamah bin
Shalt adalah seorang yang matruk,
sebagaimana komentar Abu Hatim. Secara etimologis, matruk berarti ditinggalkan.
Sedangkan menurut terminologi hadis, hadis matruk adalah hadis yang dalam
sanadnya ada rawi yang pendusta. Dan hadis matruk adalah 'adik' dari hadis
maudhu' (palsu).
Bezanya, kalau hadis
maudhu' itu perawinya adalah seorang pendusta, sedangkan hadis matruk itu
perawinya sehari-hari sering berdusta. Kira-kira hadis matruk itu boleh dikira
semi maudhu'.
Kesimpulan: Kesimpulannnya,
hadisi ini punya dua gelaran.
Pertama, gelarannya
adalah hadis munkar kerana adanya
Sallam bin Sawwar.
Gelaran kedua adalah hadis matruk kerana adanya Maslamah bin
Shalt.
Ulasan
Dr. Uzar: Jawapan yang diberi adalah benar, Hadith tersebut adalah
tidak kuat dan elok tidak dijadikan bahan ceramah, atau jika ingin pun,
diletakkan dihujung-hujung dan disebut jelas ia adalah hadis yang diragui.
Memang benar, terdapat
hadis lain seperti yang diriwayatkan oleh Ibn Khuzaymah dalam kitab sohihnya,
tetapi beliau sendiri meraguinya apabila menyebut di awal bab itu, إن صح الخبر Ertinya:
"Jika sohih khabar ini" (Rujuk
ibn Khuzaymah)
Imam Ibn Hajar
al-Hathami memberi komentar setelah membawakan hadis panjang lebar yang
mengandungi maksud petikan hadis pendek tadi, berkata: "Tentang sanadnya,
terdapat mereka yang mensohihkannya, dan mengganggapnya hasan seperti Imam
Tirmidzi, tetapi ia dianggap lemah orang ulama selain mereka, Ibn khuzaymah
menyebutnya dalam kitab sohihnya tetapi diakhiri dengan katanya: Sekiranya Sohih" (Az-Zawajir, Ibn
Hajar Al-haithami, 1/384)
Tidaklah hairan mengapa
para penceramah dan sebahagian ulama kerap menggunakannya, ini adalah kerana
hadis ini memang terdapat dalam agak banyak kitab-kitab arab silam samada Fiqh
dan hadis tanpa dijelaskan kedudukan dan taraf kekuatannya, antaranya seperti
berikut:
1) I'anah at-Tolibin,
2/255; 2) Tabyin al-haqaiq, 1/179; 3) Syarah Faidhul Qadir, 1/469;
4) Targhib wa
at-tarhib, 2/58.
Artikel
abuanasmadani.blogspot.com memetik: Ramadhan terbahagi 3
Bulan Ramadhan adalah
bulan yang mulia, penuh berkat. Perkara ini sangat jelas dalam al-Quran dan
hadis-hadis Rasulullah saw yang sahih. Perbincangan di sini ialah mengenai
kedudukan hadis di bawah ini;
"Bulan Ramadhan, awalnya rahmah, tengah-tengahnya maghfirah dan akhirnya
adalah pembebasan dari neraka".
Menurut ulama’ hadis,
dalil pembahagian Ramadhan menjadi tiga ini dhaif (lemah). Padahal hadis itu popular sekali di tengah bulan
Ramadhan, disebut oleh penceramah dan pentazkirah.
Menurut Al-Ustaz Prof.
Ali Mustafa Ya'qub, MA: Hadis itu memang bermasalah dari segi periwayatannya.
Sebenarnya hadis ini diriwayatkan tidak hanya melalui satu jalur saja, namun
ada dua jalur. Sayangnya, menurut beliau, kedua jalur itu tetap saja
bermasalah. Mendhaifkan Jalur Pertama:
Salah satu jalur
periwayatan hadisi ini versinya demikian:
Hadis ini diriwayatkan
oleh Al-'Uqaili dalam kitab khusus tentang hadis
dha'if dalam ‘Adh-Dhu'afa'. Juga
diriwayatkan oleh Al-Khatib Al-Baghdadi dalam
kitabnya Tarikh Baghdad. Serta diriwayatkan juga oleh Ibnu ‘Adiy,
Ad-Dailami, dan Ibnu ‘Asakir. Mereka Yang mendhaifkan.
Artikel 3 almanhaj.or.id
memetik: RAMADHAN DIBAGI TIGA
“Awal
bulan Ramadhân itu adalah rahmat, tengahnya adalah maghfirah (ampunan)
dan akhirnya merupakan pembebasan dari
api neraka: [HR Ibnu Abi Dunya, Ibnu Asâkir, Dailami dan lain-lain lewat
jalur periwayatan Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu]
Hadits ini sangat lemah. lihat kitab Dha’if Jâmi’is Shagîr, no.
2134 dan Faidhul Qadîr, no. 2815
Artikel almanhaj.or.id memetik: hadis panjang
khuzaimah
Hadits
lemah yang senada dengan hadits diatas iaitu:
“Dari
Salmân al-Fârisi Radhiyallahu ‘anhu, dia mengatakan, “Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam pernah berkhutbah dihadapan kami pada hari terakhir bulan
Sya’bân. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Wahai manusia, sungguh
bulan yang agung dan penuh barakah akan datang menaungi kalian, bulan yang di
dalamnya terdapat satu malam yang lebih baik dari 1000 bulan. Allâh Subhanahu wa Ta’ala menjadikan puasa (pada bulan
itu) sebagai satu kewajiban dan menjadikan shalat malamnya sebagai amalan
sunnah. Barangsiapa yang beribadah pada bulan tersebut dengan satu kebaikan,
maka sama (nilainya) dengan menunaikan satu
ibadah wajib pada bulan yang lain. Barangsiapa yang menunaikan satu kewajiban
pada bulan itu, maka sama dengan menunaikan 70 ibadah wajib pada bulan yang lain. Itulah bulan kesabaran dan balasan kesabaran adalah surga …. Itulah bulan
yang awalnya adalah rahmat,
pertengahannya ampunan dan akhirnya adalah merupakan pembebasan dari api neraka
…..”. [HR Ibnu Khuzaimah, no. 1887 dan lain-lain]
Sanad hadits ini dha’îf (lemah), karena ada seorang
perawi yang bernama Ali bin Zaid bin Jud’ân. Orang ini seorang perawi yang
lemah sebagai mana diterangkan oleh Imam Ahmad rahimahullah, Yahya
rahimahullah, Bukhâri rahimahullah, Dâru Quthni rahimahullah, Abu Hâtim
rahimahullah dan lain-lain.
Ibnu Khuzaimah
rahimahullah sendiri mengatakan, “Aku tidak menjadikannya sebagai hujjah karena
hafalannya jelek.” Imam Abu Hatim
rahimahullah mengatakan, “Hadits ini
mungkar.” lihat
kitab Silsilah ad-Dha’îfah Wal Maudhû’ah, no. 871, at-Targhîb wat Tarhîb, 2/94
dan Mizânul I’tidâl, 3/127.
Artikel 2 belajarislam.com memetik: Hadis panjang
khuzaimah
Dalam sebuah hadits
panjang yang diriwayatkan oleh Salman radhiyallohu anhu beliau berkata:
Rasulullah shallallohu alaihi wasallam berkhutbah pada hari terakhir di bulan
Sya’ban, beliau bersabda: “Wahai sekalian manusia kalian telah dinaungi bulan
agung nan diberkahi …, bulan yang awalnya
adalah rahmat, pertengahannya magfirah (pengampunan) dan akhirnya adalah
pembebasan dari api neraka….” ] HR. Ibnu Khuzaimah dalam
Shohihnya (3/191 no.1887)]
Penjelasan: Hadits ini lemah, Ibnu Khuzaimah
sendiri telah mengisyaratkan hal itu, karenanya beliau memberi judul hadits
ini: “Keutamaan bulan Ramadhan jika
haditsnya shohih”. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Baihaqi. Dalam
isnadnya ada kelemahan, padanya ada Abul Hasan Ali bin Zaid bin Ju’dan At Taymi
dan dia adalah seorang yang lemah
menurut para Imam ahli hadits seperti Imam Ahmad, Yahya bin Ma’in dan Yahya bin
Said Al Qaththan rahimahumullohu ta’ala jami’an. Abu Hatim mengatakan bahwa hadits ini mungkar sebagaimana yang
dinukil oleh Al Albani dalam
Silsilah Al Ahadits Adh Dho’ifah (871)
Dari segi matan, makna
hadits ini pun tidak tepat karena
seolah-olah memberi pengertian bahwa rahmat Allah hanya terkhusus pada 1/3 awal
dari Ramadhan, maghfirah pada 1/3 pertengahan dan pembebasan dari api neraka
hanya terkhusus pada 1/3 akhir dan makna hadits ini bertentangan dengan
beberapa hadits shohih yang menunjukkan bahwa rahmat, maghfirah dan pembebasan
dari api neraka terdapat dalam sepanjang bulan Ramadhan.
Artikel
belajarislam.com memetik:
a. Dari Abu Hurairah
radhiyallohu anhu berkata: Rasulullah shallallohu alaihi wasallam bersabda:
“Jika datang bulan Ramadhan terbukalah pintu-pintu rahmat, tertutup pintu-pintu
neraka dan para syaitan terbelenggu” (HR Muslim dalam Shohihnya, Kitab Ash Shiyam, Bab Fadhl Syahri
Ramadhan no.1079)
b. Dari Abu Hurairah
radhiyallohu anhu berkata bahwa Rasulullah shallallohu alaihi wasallam bersabda
: “Barangsiapa yang mengerjakan qiyam Ramadhan (shalat tarawih) dilandasi
keimanan dan mengharapkan pahala di sisi Allah maka diampunkan baginya dosa
yang telah lampau”, dalam riwayat yang lain : “Barangsiapa yang mengerjakan
puasa di bulan Ramadhan dilandasi keimanan dan mengharapkan pahala di sisi
Allah maka diampunkan baginya dosa yang telah lampau” [ HR.Bukhori dalam Shohihnya, Kitab Al Iman no.37,38
dan Muslim dalam Shohihnya (760) ]
Dari Abu Hurairah
radhiyallohu anhu berkata : Rasulullah shallallohu alaihi wasallam bersabda :
“Apabila telah masuk malam pertama di bulan Ramadhan maka syaitan dan jin pengganggu terbelenggu, pintu-pintu neraka tertutup tidak satupun
terbuka darinya, pintu-pintu surga
terbuka tidak satupun tertutup darinya, ada malaikat yang akan menyeru :
“Wahai para pencari kebaikan
menujulah (kebaikan tsb), wahai para pencari
kejahatan berhentilah (dari kejahatan) dan Allah memiliki hamba-hamba yang dibebaskan dari api neraka dan ini
terjadi di setiap malam bulan Ramadhan” (
HR.Tirmidzi dalam Sunannya, Kitab Ash Shaum ‘an Rasulillah, Bab Maa Jaa Fi
Fadhli Syahri Ramadhan, no 683 )
Ketiga hadits di atas
secara gamblang menunjukkan bahwa rahmat, maghfirah dan pembebasan dari api
neraka berlaku di sepanjang bulan
Ramadhan.
Hadis 6: Tidur orang puasa
adalah ibadah
Artikel 2 www.muslim.or.id memetik:
Tidur Ibadah
“Tidurnya orang yang berpuasa
adalah ibadah, diamnya adalah tasbih, do’anya
dikabulkan, dan amalannya pun akan
dilipatgandakan pahalanya.” Hadits ini diriwayatkan oleh Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman (3/1437).
Hadits ini dhaif, sebagaimana dikatakan Al Hafidz
Al Iraqi dalam Takhrijul Ihya
(1/310). Al Albani juga mendhaifkan hadits ini dalam Silsilah Adh Dha’ifah (4696).
Terdapat juga riwayat
yang lain: Tamam
“Orang yang berpuasa itu senantiasa dalam
ibadah meskipun sedang tidur di atas
ranjangnya.” Hadits ini diriwayatkan oleh Tammam (18/172). Hadits ini juga dhaif, sebagaimana dikatakan oleh Al
Albani dalam Silsilah Adh
Dhaifah (653).
Keterangan: Yang
benar, tidur adalah perkara mubah (boleh) dan bukan ritual ibadah. Maka,
sebagaimana perkara mubah yang lain, tidur dapat bernilai ibadah jika diniatkan
sebagai sarana penunjang ibadah. Misalnya, seseorang tidur karena khawatir
tergoda untuk berbuka sebelum waktunya, atau tidur untuk mengistirahatkan tubuh
agar kuat dalam beribadah.
Sebaliknya, tidak
setiap tidur orang berpuasa itu bernilai ibadah. Sebagai contoh, tidur karena
malas, atau tidur karena kekenyangan setelah sahur. Keduanya, tentu tidak
bernilai ibadah, bahkan bisa dinilai sebagai tidur yang tercela. Maka,
hendaknya seseorang menjadikan bulan ramadhan sebagai kesempatan baik untuk
memperbanyak amal kebaikan, bukan bermalas-malasan.
Artikel 4 almanhaj.or.id
memetik: tidur dan diam orang puasa
“Orang
yang berpuasa itu tetap dalam kondisi beribadah meskipun dia tidur di atas kasurnya”. [HR Tamâm]
Sanad hadits ini dha’if, karena dalam sanadnya terdapat
Yahya bin Abdullah bin Zujâj dan Muhammad bin Hârûn bin Muhammad bin Bakar bin
Hilâl.
Kedua orang ini tidak
ditemukan keterangan tentang jati diri
mereka dalam kitab Jarh wat
Ta’dil (yaitu kitab-kitab yang berisi keterangan tentang cela atau cacat
ataupun pujian terhadap para rawi).
Ditambah lagi, dalam
sanad hadits ini terdapat perawi yang bernama Hâsyim bin Abu Hurairah al
Himshi. Dia seorang perawi yang majhûl
(tidak diketahui keadaan dirinya), sebagaimana dijelaskan oleh adz-Dzahabi
rahimahullah dalam
kitab beliau rahimahullah Mizânul I’tidâl. Imam Uqaili
rahimahullah mengatakan, “Orang ini haditsnya
mungkar.”
Ada juga hadits lain
yang semakna dengan hadits diatas iaitu hadits yang diriwayatkan oleh Dailami
rahimahullah dalam
kitab Musnad Firdaus lewat jalur Anâs bin Mâlik Radhiyallahu ‘anhu
dengan lafazh:
“Orang yang berpuasa itu tetap dalam ibadah
meski pun dia tidur di atas
kasurnya”.
Sanad hadits ini maudhû’ (palsu), karena ada seorang
perawi yang bernama Muhammad bin Ahmad bin Sahl. Orang ini termasuk pemalsu hadits, sebagaimana diterangkan
oleh Imam adz-Dzahabi dalam
kitab ad-Dhu’afa.lihat
kitab Silsilah ad-Dha’îfah wal Maudhû’ah, no. 653 dan kitab Faidhul Qadîr, no.
5125
Ada juga hadits lain
yang semakna:
“Tidurnya orang yang sedang berpuasa itu
ibadah, diamnya merupakan tasbih, amal perbuatannya (akan dibalas) dengan
berlipat ganda, doa’nya mustajab dan dosanya diampuni”. [Dikeluarkan oleh
al-Baihaqi dalam Syu’abul Imân dan
lain-lain dari jalur periwayatan Abdullah bin Abi Aufa.
Sanad hadits ini maudhû’, karena dalam sanadnya terdapat
seorang perawi yang bernama Sulaiman bin Amr an-Nakha’i, seorang pendusta. [Lihat,
Faidhul Qadîr, no. 9293, Silsilatud Dha’ifah, no. 4696]
Artikel 8 belajarislam.com memetik:
“Tidurnya orang
yang berpuasa merupakan ibadah”
Penjelasan: Hadits
ini dilemahkan oleh Imam Al Iraqi dalam kitab beliau Al Mughni ‘An Hamli Al
Asfar fii Takhrij Maa fil Ihyaa minal Akhbaar (buku yang mentakhrij
hadits-hadits yang termuat dalam kitab Ihya Ulumuddin karya Al Ghazali),
beliau berkata: “Hadits ini kami riwayatkan dari kitab Amali Ibnu Mandah dari
riwayat Ibnu Mughirah Al Qawwas dari Abdullah bin Umar dengan sanad yang lemah. Mungkin yang dimaksud
(oleh Ibnu Mandah) adalah Abdullah bin ‘Amr bukan Ibnu Umar, karena para ulama
menyebutkan bahwa riwayat Ibnul Mughirah hanyalah dari Abdullah bin ‘Amru.
Hadits ini juga diriwayatkan oleh Abu Manshur Ad Dailami dalam Musnad Al Firdaus dari
hadits Abdullah bin Abu Awfa dan pada sanadnya ada Sulaiman bin ‘Amr An Nakha’i
salah seorang pendusta” (Al Mughni ‘an Hamlil Asfar 1/182)
Matan hadits ini juga
telah disalah gunakan oleh banyak masyarakat awam sehingga pada waktu berpuasa
kebanyakan mereka hanya isi dengan tidur, bahkan diantara mereka ada yang tidak
melaksanakan beberapa sholat wajib dan nanti terjaga saat menjelang buka puasa.
Hadis 7: Batal Puasa
Artikel 12 www.muslim.or.id memetik: Batal puasa Al
Jauraqani
“Lima hal yang membatalkan puasa dan membatalkan wudhu: berbohong, ghibah,
namimah, melihat lawan jenis dengan syahwat, dan bersumpah palsu.”
Hadits ini diriwayatkan
oleh Al Jauraqani di Al Abathil (1/351), oleh Ibnul Jauzi di Al Maudhu’at
(1131)
Hadits ini adalah hadits palsu, sebagaimana dijelaskan
Ibnul Jauzi dalam Al Maudhu’at (1131), Al Albani dalam Silsilah Adh Dhaifah
(1708).
Yang benar, lima hal
tersebut bukanlah pembatal puasa, namun pembatal pahala puasa. Sebagaimana
hadits: “Orang yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan mengamalkannya,
serta mengganggu orang lain, maka Allah tidak butuh terhadap puasanya.” (HR.
Bukhari, no.6057)
Hadis 8: Puasa itu
sihat
Artikel 1 www.muslim.or.id memetik: Puasa itu sihat Abu Naim
“Berpuasalah,
kalian akan sehat.”
Hadits ini diriwayatkan
oleh Abu Nu’aim dalam
Ath Thibbun Nabawi sebagaimana dikatakan oleh Al Hafidz Al Iraqi dalam Takhrijul Ihya (3/108), oleh
Ath Thabrani dalam Al Ausath (2/225), oleh Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil Fid Dhu’afa (3/227).
Hadits ini dhaif (lemah), sebagaimana dikatakan
oleh Al Hafidz Al Iraqi dalam
Takhrijul Ihya (3/108), juga
Al Albani dalam Silsilah Adh
Dha’ifah (253). Bahkan Ash Shaghani agak berlebihan
mengatakan hadits ini maudhu (palsu)
dalam Maudhu’at Ash Shaghani
(51).
Keterangan: jika
memang terdapat penelitian ilmiah dari para ahli medis bahwa puasa itu dapat
menyehatkan tubuh, makna dari hadits dhaif ini benar, namun tetap tidak boleh
dianggap sebagai sabda Nabi shallallahu’alaihi wa sallam.
Artikel 5 darussalaf.or.id memetik:
Puasa sihat
“Berpuasalah, niscaya
kalian akan sehat.”
Ini adalah hadits dha’if, dikeluarkan oleh
Al-’Uqaili dalam Adh-Dhu’afa’
[II/92], Ath-Thabarani dalam
Al-Mu’jam Al-Kabir [1190], dan selain mereka.
Di dalam sanadnya
terdapat rawi yang bernama Zuhair bin Muhammad At-Tamimi, riwayat penduduk
negeri Syam dari dia adalah riwayat yang di dalamnya banyak riwayat munkar.
Dalam sanadnya yang
lain, terdapat rawi yang bernama Nahsyal bin Sa’id, dan dia adalah rawi yang matruk (ditinggalkan
haditsnya). Ishaq bin Rahuyah dan Abu Dawud Ath-Thayalisi menyatakan dia adalah
rawi yang kadzdzab (pendusta). Di
samping itu sanadnya juga terputus.
Dalam sanadnya yang
lain juga terdapat rawi yang bernama Husain bin ‘Abdillah bin Dhamirah
Al-Himyari yang dikatakan oleh para ulama di antaranya:
Al-Imam Malik
menisbahkan dia sebagai rawi yang
pendusta.
Ibnu Ma’in menyatakan
bahwa dia adalah kadzdzab
(pendusta), tidak ada nilainya sedikitpun.
Al-Bukhari menyatakan
bahwa dia adalah munkarul hadits
(kebanyakan haditsnya munkar).
Abu Zur’ah menyatakan
bahwa dia adalah rawi yang tidak ada
nilainya sedikitpun, hinakan haditsnya (yakni yang dia riwayatkan).”
Al-Hafizh Al-’Iraqi melemahkan sanadnya, dan Asy-Syaikh
Al-Albani melemahkan hadits ini. [As-Silsilah Adh-Dha’ifah (253)].
Artikel 6 belajarislam.com memetik:
Puasa menyihatkan:
Dari Abu Hurairah
radhiyallohu anhu secara marfu’:
“Berperanglah (berjihad) niscaya kalian akan mendapatkan ghanimah, puasalah
niscaya kalian akan sehat dan
bersafarlah niscaya kalian akan berkecukupan” [ HR Thabrani dalam Al Mu’jam Al Awsath (8/174 no.8312) dan
Abu Nu’aim dalam Ath Thib An
Nabawi sebagaimana yang disebutkan dalam
Al Maqashid Al Hasanah (hal 282)
Penjelasan:
Hadits
ini diriwayatkan oleh dua imam di atas dari Muhammad bin Sulaiman bin Abu Daud
Al Harrani dari Zuhair bin Muhammad dari Suhail bin Abu Sholih dari bapaknya
dari Abu Hurairah radhiyallohu anhu. Thobrani berkata: Tidak ada yang meriwayatkan hadits ini dengan lafazh seperti ini
kecuali Zuhair”
Zuhair yang beliau
maksudkan adalah Abul Mundzir Al Khurasani; Abu Bakar bin Al Atsram berkata:
Saya telah mendengar Abu Abdillah (yakni Imam Ahmad-pen) dan dia menyebutkan
riwayat penduduk Syam dari Zuhair bin Muhammad, beliau berkata: “Mereka
meriwayatkan darinya hadits-hadits
mungkar”
Abu Hatim berkata:
“Kedudukannya adalah shidq(jujur)
akan tetapi hapalannya buruk, hadits
yang diriwayatkannya di Syam lebih
mungkar dari haditsnya di Irak disebabkan hapalannya yang jelek, maka apa
yang diriwayatkannnya lewat hapalannya banyak kesalahan-kesalahannya dan apa
yang diriwayatkan dari tulisannya maka baik”
Al Hafizh Ibnu Hajar
berkata: “Dia telah bermukim di Syam kemudian Hijaz, dia seorang yang tsiqoh (terpercaya) akan tetapi riwayat
penduduk Syam darinya tidak mustaqimah
(lurus) maka dia dilemahkan
disebabkan hal tersebut”
Dan hadits ini salah
satu dari riwayat penduduk Syam karena Muhammad bin Sulaiman Al Harroni
(berasal dari Syam) dan kelemahan lain dari hadits ini adalah guru dari
Thobrani yaitu Musa bin Zakariyya; dia seorang yang matruk (ditinggalkan)
Imam Ash Shoghani
menilai hadits ini sebagai hadits palsu,
karena itu beliau memasukkannya dalam
kitab beliau Al Maudhu’at (72). Namun penilaian ini dianggap
berlebihan oleh Syaikh Al Albani, yang tepat kita katakan hadits ini lemah namun tidak
sampai derajat maudhu’ (palsu). Wallahu A’lam. Lihat:
Silsilah Al Ahadits Adh Dho’ifah (1/420 no.253)
Hadis 9: Beri makan
orang berpuasa
Artikel 9 www.muslim.or.id memetik: Memberi makan
“Barangsiapa
memberi hidangan berbuka puasa
dengan makanan dan minuman yang halal, para malaikat bershalawat kepadanya
selama bulan Ramadhan dan Jibril bershalawat kepadanya di malam lailatul
qadar.”
Hadist ini diriwayatkan
oleh Ibnu Hibban dalam
Al Majruhin (1/300), Al Baihaqi dalam
Syu’abul Iman (3/1441), Ibnu ‘Adi dalam
Al Kamil Adh Dhuafa (3/318), Al Mundziri dalam
At Targhib Wat Tarhib (1/152)
Hadits ini didhaifkan oleh Ibnul Jauzi dalam Al Maudhuat (2/555), As
Sakhawi dalam Maqasidul Hasanah
(495), Al Albani dalam
Dhaif At Targhib (654)
Yang benar, orang yang
memberikan hidangan berbuka puasa akan mendapatkan pahala puasa orang yang
diberi hidangan tadi, berdasarkan hadits:
“Siapa
saja yang memberikan hidangan berbuka puasa kepada orang lain yang berpuasa, ia
akan mendapatkan pahala orang tersebut tanpa sedikitpun mengurangi pahalanya.”
(HR. At Tirmidzi no 807, ia berkata: “Hasan
shahih”)
Hadis 10: Jihat melawan
Nafsu
Artikel 10 www.muslim.or.id memetik: Jihad Nafsu
“Kita telah kembali dari jihad yang kecil
menuju jihad yang besar.” Para
sahabat bertanya: “Apakah jihad yang besar itu?” Beliau bersabda: “Jihadnya
hati melawan hawa nafsu.”
Menurut Al Hafidz Al
Iraqi dalam Takhrijul Ihya (2/6)
hadits ini diriwayatkan oleh Al Baihaqi dalam
Az Zuhd. Ibnu Hajar Al Asqalani dalam
Takhrijul Kasyaf (4/114) juga mengatakan hadits ini diriwayatkan
oleh An Nasa’i dalam
Al Kuna.
Hadits ini adalah hadits palsu. Sebagaimana dikatakan
oleh Syaikhul Islam dalam
Majmu Fatawa (11/197), juga oleh Al Mulla Ali Al Qari dalam Al Asrar Al Marfu’ah (211). Al Albani
dalam Silsilah Adh Dhaifah
(2460) mengatakan hadits
ini Munkar.
Hadits ini sering
dibawakan para khatib dan dikaitkan dengan Ramadhan, iaitu untuk mengatakan
bahwa jihad melawan hawa nafsu di bulan Ramadhan lebih utama dari jihad
berperang di jalan Allah. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Hadits ini tidak ada asalnya. Tidak ada
seorang pun ulama hadits yang berangapan seperti ini, baik dari perkataan
maupun perbuatan Nabi. Selain itu jihad melawan orang kafir adalah amal yang
paling mulia. Bahkan jihad yang tidak wajib pun merupakan amalan Sunnah yang
paling dianjurkan.” (Majmu’
Fatawa, 11/197). Artinya, makna dari hadits palsu ini pun tidak
benar karena jihad berperang di jalan Allah adalah amalan yang paling mulia.
Selain itu, orang yang terjun berperang di jalan Allah tentunya telah berhasil
mengalahkan hawa nafsunya untuk meninggalkan dunia dan orang-orang yang ia
sayangi.
Hadis 11: Doa Rejab
Saaban
Artikel belajarislam.com memetik: Doa Rejab
Dari Anas radhiyallohu
anhu adalah Nabi shallallohu alaihi wasallam berdoa agar diperjumpakan dengan
bulan Ramadhan, maka jika beliau sudah berada di bulan Rajab, beliau berdoa:
“Ya Allah berkahilah kami di bulan Rajab dan Sya’ban serta perjumpakanlah kami
dengan bulan Ramadhan” [ HR. Ahmad (2342) dan Thobrani dalam Al Mu’jam al Awsath (4/149/no.3939); lafal
hadits ini bagi beliau]
Penjelasan: Dalam sanad hadits ini ada dua perowi yang lemah;
Pertama:
Zaidah bin Abu Ruqad Al Bahili; dia seorang yang munkarul hadits (haditsnya mungkar) sebagaimana yang dikatakan oleh
Imam Bukhari, Nasai dan Al Hafizh Ibnu Hajar.
Kedua: Ziyad
bin Abdullah An Numairi dia seorang yang dinilai
lemah oleh Imam Yahya Bin Ma’in, Abu Daud dan Al Hafizh Ibnu Hajar. Abu
Hatim berkata: Haditsnya boleh ditulis namun tidak dijadikan sebagai hujjah.
Namun demikian bukan
berarti kita tidak boleh berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk
diperjumpakan dengan bulan Ramadhan, bahkan Ibnu Rajab Al Hanbali menukil dari
Mu’alla bin Fadhl yang menyebutkan bahwa kaum salaf terdahulu berdoa selama
enam bulan sebelumnya agar dipertemukan dengan bulan Ramadhan, kemudian berdoa pada
enam bulan berikutnya agar Allah Azza wa Jalla menerima amalan-amalan mereka di
bulan tersebut. (Lihat:
Lathoif Al Ma’aarif, hal 280)
Hadis 12: Zakat Fitrah
Artikel 7 www.muslim.or.id memetik: Zakat fitrah
“Bulan
Ramadhan bergantung di antara langit
dan bumi. Tidak ada yang dapat mengangkatnya kecuali zakat fithri.”
Hadits ini disebutkan
oleh Al Mundziri dalam At Targhib Wat Tarhib (2/157). Al Albani mendhaifkan hadits ini dalam Dhaif At Targhib (664), dan Silsilah Ahadits Dhaifah (43).
Yang benar, jika dari
hadits ini terdapat orang yang meyakini bahwa puasa Ramadhan tidak diterima
jika belum membayar zakat fithri, keyakinan ini salah, karena haditsnya dhaif. Zakat fithri bukanlah
syarat sah puasa Ramadhan, namun jika seseorang meninggalkannya ia mendapat
dosa tersendiri.
Artikel
7 darussalaf.or.id memetik: zakat fitrah
“Sesungguhnya
bulan Ramadhan itu tergantung di antara langit dan bumi, tidaklah bisa diangkat
kecuali dengan zakat fitrah.”
Ini adalah hadits dha’if. Diriwayatkan oleh Ibnu
Shishri di dalam Al-Amali dan bagian hadits ini hilang, juga
diriwayatkan oleh Ibnu Syahin di dalam
At-Targhib, dan Ibnul Jauzi di dalam
Al-’Ilal Al-Mutanahiyah [II/499].
Di dalam sanadnya
terdapat rawi yang bernama Muhammad bin ‘Ubaid yang dikatakan oleh Ibnul JAuzi
bahwa dia adalah majhul (tidak
dikenal). Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan setelah menyebutkan hadits ini di dalam Lisanul Mizan [V/276]: “Dia
adalah rawi yang tidak ada satupun yang
mengikutinya.”
Asy-Syaikh Al-Albani mendha’ifkan hadits ini di dalam As-Silsilah Adh-Dha’ifah (43).
Hadis 13: 3 Doa Jibril
Artikel
DrRozaimiRamle @facebook.com memetik: Doa Jibril
"Ya Allah, abaikan
puasa umat Muhammad jika sebelum masuk ramadhan dia tidak melakukan 3 hal ini:
1.Tidak
minta maaf kepada kedua orang tua.
2.Tidak
bermaafan dengan sahabat sahabatnya.
3.Tidak bermaafan dengan orang sekitarnya." maka,
Rasullullah pun mengaminkannya sebanyak 3kali.
Dengan ini, saya ingin
memohon maaf jika ada salah dan silap yang telah dilakukan sebelum sebelum ini.
Minta maaf kalau ada terkasar bahasa, menyinggung atau mengguris hati. Mohon
ampun dan maaf sekali lagi dari saya dan keluarga.
Jawapan Admin: Ia hadis
palsu. Tiada asal padanya. Berdosa
besar sesiapa yang mereka-rekanya dan menyebarkannya.
Imam Muslim dalam
Muqadimah Sahih Muslim membawakan beberapa hadis yang mengajar kita untuk
berhati-hati dalam menyebarkan sesuatu.
Cukuplah dengan hadis
yang sahih atau hasan. Antaranya ialah hadis yang benar seperti di bawah:
Jabir bin ‘Abdullah
berkata Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam menaiki mimbar, ketika baginda menaiki
anak tangga yang pertama, baginda menyebut “Amin”, kemudian apabila menaiki
anak tangga yang kedua, baginda menyebut “Amin”, kemudian apabila menaiki anak
tangga ketiga, baginda menyebut “Amin”.
Para sahabat bertanya:
Ya Rasulullah. Kami mendengar engkau menyebut Amin sebanyak tiga kali.
Baginda menjawab:
Ketika aku menaiki anak tangga yang pertama, Jibril datang kepada ku dan
berkata: Celaka sungguh seorang manusia yang bertemu dengan Ramadhan, tetapi
keluar daripadanya tanpa diampuni dosanya. Lalu aku pun menyebut Amin.
Kemudian Jibril
berkata: Celakalah manusia yang ibu bapanya masih hidup atau salah seorang
daripada mereka masih hidup, tetapi hal itu tidak memasukkannya ke dalam
syurga. Aku pun menyebut Amin.
Kemudian Jibril
berkata: Celakalah manusia yang engkau (iaitu Rasulullah sallallahu ‘alaihi
wasallam) di sebut di sisinya, tetapi dia tidak berselawat ke atas engkau. Aku
pun menyebut Amin.
[Al-Imam
Al-Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad, hadis no: 640. Shaikh al-Albani berkata ia
Sahih Lighairihi dalam Sahih al-Adab al-Mufrad]
Artikel
tajdid-dakwah.blogspot.com memetik: Hadis 13 Doa Jibril
Hadis yang disebarkan
berbunyi begini: Do'a malaikat Jibril menjelang Ramadhan " Ya Allah tolong
abaikan puasa ummat Muhammad, apabila sebelum memasuki bulan Ramadhan dia tidak
melakukan hal-hal yang berikut: - Tidak memohon maaf terlebih dahulu kepada
kedua orang tuanya (jika masih ada); Tidak berma'afan terlebih dahulu antara
suami isteri; Tidak bermaafan terlebih dahulu dengan orang-orang sekitarnya.
" Maka Rasulullah pun mengatakan Amiin sebanyak 3 kali. Dapatkah kita
bayangkan, yang berdo'a adalah Malaikat dan yang meng-amiinkan adalah
Rasullullah dan para sahabat, dan dilakukan pada hari Jumaat.
*****Hadis ini telah DIPALSUKAN buktinya diterangkan
dibawah*****
RIWAYAT YANG ASAL
(HADIS SAHIH)
Dari Ka’ab Bin ‘Ujrah
(ra) katanya: Rasulullah S.A.W bersabda: Berhimpunlah kamu sekalian dekat
dengan mimbar. Maka kamipun berhimpun. Lalu beliau menaiki anak tangga mimbar,
beliau berkata: Amin. Ketika naik ke anak tangga kedua, beliau berkata lagi:
Amin. Dan ketika menaiki anak tangga ketiga, beliau berkata lagi: Amin. Dan
ketika beliau turun (dari mimbar) kamipun bertanya: Ya Rasulullah, kami telah
mendengar sesuatu dari tuan pada hari ini yang kami belum pernah mendengarnya
sebelum ini. Lalu baginda menjawab: “Sesungguhnya Jibrail (as) telah
membisikkan (doa) kepadaku, katanya: Celakalah orang yang mendapati bulan
Ramadhan tetapi dosanya tidak juga diampuni. Lalu aku pun mengaminkan doa
tersebut. Ketika aku naik ke anak tangga kedua, dia berkata lagi: Celakalah
orang yang (apabila) disebut namamu di sisinya tetapi dia tidak menyambutnya
dengan salawat ke atasmu. Lalu aku pun mengaminkannya. Dan ketika aku naik ke
anak tangga yang ketiga, dia berkata lagi: Celakalah orang yang mendapati
ibubapanya yang sudah tua atau salah seorang daripadanya, namun mereka tidak
memasukkan dia ke dalam surga. Lalu aku pun mengaminkannya Hadits Riwayat Bazzar
dalam Majma'uz Zawaid 10/1675-166, Hakim 4/153 disahihkannya dan disetujui oleh
Imam Adz-Dzahabi dari Ka'ab bin Ujrah, diriwayatkan juga oleh Imam Bukhari
dalam Adabul Mufrad no. 644 (Shahih Al-Adabul Mufrad No.500 dari Jabir bin
Abdillah)] Sesiapa yang terlibat menyebarkan hadis palsu ini silalah
hentikannya ia adalah kerana.....
Artikel isma.org.my
memetik: tradisi bermaafan
Ketika Rasullullah
sedang berkhutbah pada Solat Jumaat (dalam bulan Sya’ban), beliau mengatakan
‘Amin sampai tiga kali, dan para sahabat begitu mendengar Rasullullah
mengatakan ‘Amin’, terkejut dan spontan mereka turut mengatakan ‘Amin. Tapi
para sahabat bingung, kenapa Rasullullah berkata ‘Amin‘sampai tiga kali. Ketika
selesai solat Jumaat, para sahabat bertanya kepada Rasullullah, kemudian beliau
menjelaskan: “Ketika aku sedang berkhutbah, datanglah Malaikat Jibril dan
berbisik, hai Rasullullah ‘Amin kan doa ku ini,” jawab Rasullullah.
Do’a Malaikat Jibril
itu adalah: “Ya Allah tolong abaikan puasa ummat Muhammad, apabila sebelum memasuki
bulan Ramadhan dia tidak melakukan hal-hal yang berikut:
1) Tidak memohon maaf terlebih dahulu kepada kedua orang
tuanya (jika masih ada);
2)
Tidak bermaafan terlebih dahulu antara suami isteri;
3)
Tidak bermaafan terlebih dahulu dengan orang-orang sekitarnya.
Dikatakan bahawa hadis
tersebut diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah (3/192) dan Ahmad (2/246, 254).
Setelah diteliti oleh
ahli hadis, doa Malaikat Jibril tersebut tidak ditemui asalnya, bahkan dalam
himpunan hadis palsu atau dhaif pun tidak ada. Tidak ditemui sebarang tanda
yang boleh membawa kita untuk menilai darjatnya.
Namun apa yang
sebenarnya ditemui dalam kitab Sohih Ibnu Khuzaimah (3/192) juga pada kitab
Musnad Imam Ahmad (2/246, 254) adalah hadis berikut:
“Dari Abu Hurairah:
Rasulullah SAW naik mimbar lalu bersabda: ‘Amin, Amin, Amin’. Para sahabat
bertanya: “Kenapa engkau berkata demikian, wahai Rasulullah?” Kemudian beliau
bersabda, “Baru saja Jibril berkata kepadaku: ‘Allah melaknat seorang hamba
yang melalui Ramadhan tanpa mendapatkan ampunan’, maka ku katakan, ‘Amin’,
kemudian Jibril berkata lagi, ‘Allah melaknat seorang hamba yang mengetahui
kedua orang tuanya masih hidup, namun tidak membuatnya masuk Syurga (kerana
tidak berbakti kepada mereka berdua)’, maka aku berkata: ‘Amin’. Kemudian
Jibril berkata lagi. ‘Allah melaknat seorang hamba yang tidak bersolawat ketika
disebut namamu’, maka ku katakan, ‘Amin”.” Al A’zhami berkata: “Sanad hadis ini
jayyid”.”
(Hadis ini disohihkan oleh Al Mundziri dalam At Targhib Wat Tarhib (2/114, 406,
407, 3/295), juga oleh Adz Dzahabi dalam Al Mazhab (4/1682), dihasankan oleh Al Haitsami dalam Majma’ Az Zawaid (8/142), juga
oleh Ibnu Hajar Al Asqalani dalam
Al Qaulul Badi (212).
Dari sini jelaslah
bahawa kedua-dua hadis tersebut di atas adalah dua hadis yang berbeza. Entah
siapa orang yang membuat hadis pertama; atau mungkin boleh jadi pembuat hadis
tersebut mendengar hadis kedua, lalu menyebarkannya kepada orang ramai dengan
daya ingatan yang rosak, sehingga berubahlah makna hadis; atau boleh jadi juga,
pembuat hadis ini berinovasi membuat tradisi bermaaf-maafan sebelum Ramadhan,
lalu sengaja menyelewengkan hadis kedua ini untuk mengesahkan tradisi tersebut.
Yang nyata, hadis yang
pertama itu tidak ada asal-usulnya, ia BUKAN
HADIS dan tidak wajar menjadi rujukan sesuatu amalan.
Meminta maaf itu
disyariatkan dalam Islam. Rasulullah SAW bersabda:
“Orang yang pernah
menzalimi saudaranya dalam hal apapun, maka “hari ini” ia wajib meminta
perbuatannya tersebut dihalalkan oleh saudaranya, sebelum datang hari di mana
tidak ada ada dinar dan dirham. Kerana jika orang tersebut memiliki amal soleh,
amalnya tersebut akan dikurangi untuk melunasi kezalimannya. Namun jika ia
tidak memiliki amal soleh, maka ditambahkan kepadanya dosa-dosa dari orang yang
ia zalimi” (HR. Bukhari no.2449)
Dari hadis ini jelas
bahawa Islam mengajarkan untuk meminta maaf, jika berbuat kesalahan kepada
orang lain.
Adapun meminta maaf
tanpa sebab dan dilakukan kepada semua orang yang ditemui, tidak pernah
diajarkan oleh Islam. Jika ada yang berkata: “Manusia kan tempat salah dan
dosa, mungkin saja kita berbuat salah kepada semua orang tanpa disedari”. Yang
dikatakan itu memang benar, namun apakah serta merta kita perlu meminta maaf
kepada semua orang yang kita temui?
Selain itu, kesalahan
yang tidak sengaja atau tidak disedari tidak dihitung sebagai dosa di sisi
Allah Ta’ala. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
“Sesungguhnya Allah
telah memaafkan ummatku yang berbuat salah kerana tidak sengaja, atau kerana lupa,
atau kerana dipaksa” (HR Ibnu Majah, 1675, Al Baihaqi, 7/356, Ibnu Hazm dalam Al Muhalla, 4/4, sohih).
Sehingga, perbuatan
meminta maaf kepada semua orang tanpa sebab boleh terjerumus pada ghuluw
(berlebihan) dalam beragama.
Dan kata “hari ini”
dalam hadis riwayat Bukhari menunjukkan bahawa meminta maaf itu boleh dilakukan
bila-bila saja dan yang paling baik adalah dengan segera, kerana kita tidak
tahu bila ajal menjemput.
Namun bagi seseorang
yang memang memiliki kesalahan kepada saudaranya dan belum menemukan waktu yang
sesuai untuk meminta maaf dan menganggap waktu datangnya Ramadhan adalah saat
yang tepat, tidak ada larangan memanfaatkan waktu ini untuk meminta maaf kepada
orang yang pernah dizaliminya.
Asalkan
tidak dijadikan kebiasaan sehingga menjadi ritual rutin yang dilakukan setiap
tahun.
Hadis 14: Ganjaran
puasa dan tarawih 30 malam
Artikel 1 almanhaj.or.id memetik: Ganjaran
puasa/tarawih
“Dari Nadhir bin Syaibân, ia mengatakan,
‘Aku pernah bertemu dengan Abu Salamah bin Abdurrahman rahimahullah, aku
mengatakan kepadanya, ‘Ceritakanlah kepadaku sebuah hadits yang pernah engkau
dengar dari bapakmu (maksudnya Abdurraman bin ‘Auf Radhiyallahu ‘anhu)
tentang Ramadhân.’ Ia mengatakan, ‘Ya, bapakku (maksudnya Abdurraman bin ‘Auf
Radhiyallahu ‘anhu) pernah menceritakan kepadaku bahwa Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam pernah menyebut bulan Ramadhân lalu bersabda, ‘Bulan yang
Allâh Azza wa Jalla telah wajibkan atas kalian puasanya dan aku menyunahkan
buat kalian shalat malamnya. Maka barangsiapa yang berpuasa dan melaksanakan
shalat malam dengan dasar iman dan mengharapkan ganjaran dari Allâh Azza wa
Jalla, niscaya dia akan keluar dari dosa-dosanya sebagaimana saat dia
dilahirkan oleh ibunya”. [HR Ibnu Mâjah, no. 1328 dan Ibnu Khuzaimah, no. 2201
lewar jalur periwayatan Nadhr bin Syaibân]
Sanad hadits ini lemah, karena Nadhr bin Syaibân itu layyinul hadîts (orang yang haditsnya
lemah), sebagaimana dikatakan oleh al-Hâfizh Ibnu Hajar rahimahullah dalam kitab Taqrîb beliau rahimahullah.
Ibnu Khuzaimah
rahimahullah juga telah menilai hadits
ini lemah dan beliau rahimahullah mengatakan bahwa hadits yang sah adalah
hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu.
Hadits yang beliau
rahimahullah maksudkan yaitu hadits yang dikeluarkan oleh Imam Bukhâri dan
Muslim dan ulama hadits lainnya lewat jalur Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Barangsiapa
yang shalat (qiyâm Ramadhân atau Tarawih) dengan dasar iman dan mengharap
pahala, maka diampuni dosanya yang telah lalu”.
Juga ada sabda
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits shahih riwayat Bukhâri dan Muslim, yaitu: “Barangsiapa
yang menunaikan ibadah haji dan tidak jima’ juga tidak fasiq, niscaya dia akan
kembali seperti hari dia dilahirkan oleh sang ibu” [HR. Bukhâri dan Muslim]
Hadis 15: Keutamaan
Iktikaf
Artikel 6 almanhaj.or.id memetik: keutamaan iktikaf
“Barangsiapa yang beri’tikaf pada sepuluh
hari (terakhir) bulan Ramadhân, maka dia seperti telah menunaikan haji dan
umrah dua kali”.
Diriwayatkan oleh
al-Baihaqi rahimahullah dalam
kitab beliau Syu’abul Imân dari Husain bin Ali bin Thâlib Radhiyallahu ‘anhuma. hadits ini Maudhû’.
Syaikh al-Albâni
rahimahullah dalam kitab beliau Dha’if
Jami’ish Shaghiir, no. 5460, mengatakan,
Maudhû’ Kemudian beliau rahimahullah menjelaskan penyebab kepalsuan hadits
ini dalam kitab beliau rahimahullah
Silsilah ad-Dha’ifah, no. 518
Hadits
dha’if lain yang hampir senada iaitu:
“Barangsiapa yang beri’tikaf atas dasar
keimanan dan mengharapkan pahala, maka dia diampuni dosanya yang telah lewat”.
Hadits
dha’if riwayat Dailami rahimahullah dalam
Musnad Firdaus. Al-Munâwi rahimahullah, dalam
kitab beliau Faidhul Qadîr, syarah
Ja’mi’ Shaghîr (6/74, no. 8480) mengatakan, “Dalam hadits ini
terdapat rawi yang tidak aku ketahui.”
Hadis 16: Doa berbuka
Artikel 4 www.muslim.or.id
memetik: Doa berbuka
“Biasanya
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam ketika berbuka membaca doa: Allahumma
laka shumtu wa ‘alaa rizqika afthartu fataqabbal minni, innaka antas samii’ul
‘aliim.”
Hadits ini diriwayatkan
oleh Abu Daud dalam
Sunan-nya (2358), Adz Dzahabi dalam
Al Muhadzab (4/1616), Ibnu Katsir dalam
Irsyadul Faqih (289/1), Ibnul Mulaqqin dalam Badrul Munir (5/710)
Ibnu Hajar Al Asqalani
berkata dalam Al Futuhat Ar
Rabbaniyyah (4/341): “Hadits ini gharib, dan sanadnya lemah
sekali”. Hadits ini juga didhaifkan
oleh Asy Syaukani dalam
Nailul Authar (4/301), juga oleh Al Albani dalam Dhaif Al Jami’ (4350). Dan
doa dengan lafadz yang semisal, semua berkisar antara hadits lemah dan munkar.
Sedangkan doa berbuka
puasa yang tersebar dimasyarakat dengan lafadz:
“Ya
Allah, untuk-Mu aku berpuasa, kepada-Mu aku beriman, atas rezeki-Mu aku
berbuka, aku memohon Rahmat-Mu wahai Dzat yang Maha Penyayang.”
Hadits ini tidak terdapat dalam kitab hadits manapun.
Atau dengan kata lain, ini adalah hadits
palsu. Sebagaimana dikatakan oleh Al Mulla Ali Al Qaari dalam kitab Mirqatul Mafatih Syarh
Misykatul Mashabih: “Adapun doa yang tersebar di masyarakat dengan
tambahan ‘wabika aamantu’ sama sekali tidak ada asalnya, walau secara makna
memang benar.”
Yang benar, doa berbuka
puasa yang dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam terdapat
dalam hadits:
“Biasanya
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam ketika berbuka puasa membaca doa: /Dzahabaz zhamaa-u wabtalatil ‘uruqu wa
tsabatal ajru insyaa Allah/
(‘Rasa haus telah
hilang, kerongkongan telah basah, semoga pahala didapatkan. Insya Allah’)”
Hadits ini diriwayatkan
oleh Abu Daud (2357), Ad Daruquthni (2/401), dan dihasankan oleh Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Hidayatur Ruwah, 2/232
juga oleh Al Albani dalam
Shahih Sunan Abi Daud.
Artikel
5 almanhaj.or.id memetik: Doa buka puasa.
“Dari
Ibnu Abbâs Radhiyallahu ‘anhu, beliau Radhiyallahu ‘anhu mengatakan,
“Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, apabila hendak berbuka, beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan:
“Wahai Allâh! UntukMu kami berpuasa dan
dengan rizki dari Mu kami berbuka. Ya Allâh! Terimalah amalan kami!
Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. [Diriwayatkan oleh
Daru Quthni dalam
kitab Sunan beliau rahimahullah, Ibnu Sunni dalam kitab ‘Amalul Yaumi wal Lailah, no.
473 dan Thabrani dalam
kitab al-Mu’jamul Kabîr]
Sanad hadits ini sangat lemah (dha’îfun jiddan), karena:
Pertama: Ada
seorang rawi yang bernama Abdul Mâlik bin Hârun bin ‘Antarah. Orang ini adalah
sseorang rawi yang sangat lemah.
– Imam Ahmad
rahimahullah mengatakan, “Abdul Mâlik itu dha’if.”
– Imam Yahya
rahimahullah, “Dia seorang pendusta (kadzdzâb).”
– Sementara Ibnu Hibbân
rahimahullah mengatakan, “Dia seorang pemalsu
hadits.”
– Imam Sa’di
mengatakan, “Dajjâl (pendusta).”
– Imam Dzahabi
rahimahullah, ‘Dia tertuduh sebagai pemalsu
hadits.”
– Ibnu Hatim
mengatakan, “Matrûk (orang yang
riwayatnya ditinggalkan oleh para Ulama).”
Kedua: Dalam
sanad hadits ini terdapat juga orang tua dari Abdul Mâlik iaitu Hârun bin
‘Antarah. Dia ini seorang rawi yang
diperselisihkan oleh para Ulama ahli hadits. Imam Daru Quthni rahimahullah
menilainya lemah, sedangkan Ibni
Hibbân rahimahullah telang mengatakan, “Mungkarul
hadîts (orang yang haditsnya diingkari), sama sekali tidak boleh berhujjah
dengannya.”
Hadits ini telah dilemahkan oleh Imam Ibnul Qayyim
rahimahullah, Ibnu Hajar rahimahullah, al Haitsami rahimahullah dan Syaikh al-Albâni
rahimahullah dan lain-lain. Mizânul I’tidal (2/666), Majma’uz Zawâ’id (3/156
oleh Imam Haitsami rahimahullah), Zâdul Ma’âd dalam
kitab Shiyâm oleh Imam Ibnul Qayyim rahimahullah dan Irwâ’ul Ghalîl (4/36-39
oleh Syaikh al-Albâni rahimahullah)
Hadits
dhaif lainnya tentang do’a berbuka iaitu:
“Dari
Anas Radhiyallahu ‘anhu, beliau Radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, apabila berbuka, beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam mengucapkan: “Dengan
nama Allâh, Ya Allâh karenaMu aku berpuasa dan dengan rizki dari Mu aku
berbuka”.
Hadits ini diriwayatkan
oleh Thabrani rahimahullah dalam
kitab al-Mu’jamus Shagîr, hlm. 189 dan al-Mu’jam Ausath.
Sanad hadits ini lemah (dha’îf), karena
Pertama: Dalam
sanad hadits ini terdapat Ismail bin Amar al Bajali. Dia adalah seorang rawi yang lemah. Imam Dzahabi
rahimahullah mengatakan dalam
kitab adh-Dhu’âfa, “Bukan hanya satu orang saja yang melememahkannya.”
Imam Ibnu ‘Adi
rahimahullah mengatakan, “Orang ini sering membawakan hadits-hadits yang tidak boleh diikuti.”
Imam Ibnu Hâtim
rahimahullah mengatakan, “Orang ini
lemah.”
Kedua: Dalam
sanadnya terdapat Dâwud bin az-Zibriqân. Syaikh al-Albâni rahimahullah
mengatakan, “Orang ini lebih jelek
daripada Ismail bin Amr al bajali.”
Imam Abu Dâwud
rahimahullah, Abu Zur’ah rahimahullah dan Ibnu Hajar rahimahullah memasukkan
orang ini ke golongan matrûk (orang
yang riwayatnya ditinggalkan oleh para Ulama ahli hadits).
Imam Ibnu ‘Adi
mengatakan, “Biasanya apa yang diriwayatkan oleh orang ini tidak boleh diikuti.” (lihat,
Mizânul I’tidâl, 2/7)
Hadits Thabrani
rahimahullah ini pernah dibawakan oleh Ustadz Abdul Qadir Hassan dalam risalah puasa,
namun beliau tidak mengomentari derajatnya.
Masih tentang do’a
berbuka, ada hadits dha’if lainnya
yang senada yaitu:
“Dari Mu’adz bin
Zuhrah, telah sampai kepadanya bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
apabila hendak berbuka, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan: “Ya
Allâh karenaMu aku berpuasa dan dengan rizki dari Mu aku berbuka”.
Hadits ini dha’if (lemah). Hadits ini diriwayatkan
oleh Abu Dâwud, no. 2358, al-Baihaqi, 4/239, Ibnu Abi Syaibah dan Ibnu Sunni.
Lafazh hadits ini sama dengan hadits sebelumnya, hanya beda dalam kalimat
awalnya. Hadits ini lemah karena ada dua illah (penyebab):
Pertama:
Mursal [1]. Karena Mu’adz bin Zuhrah, seorang tabi’in bukan shahabat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kedua: Juga
karena Mu’adz bin Zuhrah ini seorang rawi yang majhûl, tidak ada yang meriwayatkan hadits darinya selain Hushain
bin Abdurrahman. Sementara Ibnu Abi Hâtim rahimahullah dalam kitab beliau
rahimahullah Jarh Wa Ta’dil tidak menerangkan tentang celaan maupun pujian
untuknya.
Sebatas yang saya
ketahui, tidak ada satu riwayatpun yang sah tentang do’a berbuka puasa kecuali
riwayat dibawah ini: “Dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma,
adalah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila berbuka puasa, beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan: “Dahaga
telah lenyap, urat-urat telah basah dan pahala atau ganjaran tetap ada insya
Allâh”
Hadits ini hasan
riwayat Abu Dâwud, no. 2357; Nasâ’i, 1/66; Daru Quthni, ia mengatakan, “Sanad hadits ini hasan.”; al Hâkim, 1/422 dan
Baihaqi, 4/239. Syaikh al-Albâni rahimahullah sepakat dengan penilai Daru
Quthni terhadap hadits ini.
Sebatas yang saya
ketahui, semua rawi (orang-orang yang meriwayatkan) hadits ini adalah tsiqah (terpercaya) kecuali Husain bin
Wâqid. Dia seorang rawi yang tsiqah
namun memiliki sedikit kelemahan, sehingga tepatlah kalau sanad hadits ini
dinilai hasan.
Hadis 17: Mengganti
puasa
Artikel 5 www.muslim.or.id memetik: mengganti Puasa
“Orang yang sengaja
tidak berpuasa pada suatu hari di bulan Ramadhan, padahal ia bukan orang yang
diberi keringanan, ia tidak akan dapat mengganti puasanya meski berpuasa terus
menerus.”
Hadits ini diriwayatkan
oleh Imam Al Bukhari dalam
Al’Ilal Al Kabir (116), oleh Abu Daud dalam Sunannya (2396), oleh
Tirmidzi dalam Sunan-nya (723), Imam
Ahmad dalam Al Mughni (4/367), Ad
Daruquthni dalam Sunan-nya (2/441,
2/413), dan Al Baihaqi dalam
Sunan-nya (4/228).
Hadits ini didhaifkan oleh Al Bukhari, Imam Ahmad,
Ibnu Hazm dalam Al Muhalla
(6/183), Al Baihaqi, Ibnu Abdil Barr dalam
At Tamhid (7/173), juga oleh Al Albani dalam Dhaif At Tirmidzi (723), Dhaif Abi
Daud (2396), Dhaif Al Jami’ (5462) dan Silsilah Adh Dha’ifah (4557).
Namun, memang sebagian ulama ada yang menshahihkan
hadits ini seperti Abu Hatim Ar Razi dalam
Al Ilal (2/17), juga ada yang menghasankan seperti Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Hidayatur Ruwah (2/329) dan
Al Haitsami dalam
Majma’ Az Zawaid (3/171). Oleh karena itu, ulama berbeda pendapat
mengenai ada-tidaknya qadha bagi orang yang sengaja tidak berpuasa.
Yang benar -wal ‘ilmu
‘indallah- adalah penjelasan Lajnah Daimah Lil Buhuts Wal Ifta (Komisi Fatwa
Saudi Arabia), yang menyatakan bahwa “Seseorang yang sengaja tidak berpuasa
tanpa udzur syar’i, dia harus bertaubat kepada Allah dan mengganti puasa yang telah
ditinggalkannya.” (Periksa:
Fatawa Lajnah Daimah no. 16480, 9/191)
Artikel
9 almanhaj.or.id memetik: mengganti puasa
“Barangsiapa yang
memiliki tanggungan shaum (puasa) Ramadhân, maka hendaknya dia mengqadha’nya
dengan cara berturut-turut dan tidak diputus-putus (selang-seling)”.
Hadits ini dha’if. Hadits ini diriwayatkan oleh
Daru Quthni rahimahullah dalam
sunannya, 2/191-192 dan al-Baihaqi dalam
sunan beliau, 2/259 lewat jalur Abdurrahman bin Ibrahim al Qâsh
dari ‘Alâ bin Abdurrahman dari bapaknya dari Abu Hurairah (ia mengatakan),
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: (seperti hadits diatas).
Sanad hadits ini dha’if (lemah), karena Abdurrahman bin
Ibrahim al Qâsh adalah seorang rawi yang
dha’if (lemah).
Ad-Daaru Quthni
rahimahullah mengatakan, “Abdurrahman bin Ibrahim al Qâsh adalah dha’îful hadîts (orang yang haditsnya
lemah).”
Al Hâfizh Ibnu Hajar
rahimahullah dalam
kitabnya Talkhishul Habîr ,2/260, no. 920 mengatakan, “Ibnu Abil
Hâtim rahimahullah telah menerangkan bahwa bapaknya iaitu Abu Hâtim telah mengingkari hadits ini karena ada
Abdurrahman.”
Al-Baihaqi rahimahullah
mengatakan, “Dia (Abdurrahman bin Ibrahim al Qâsh) telah dinilai lemah oleh Ibnu Ma’in rahimahullah, Nasa’i rahimahullah dan
Daru Quthni rahimahullah.”
Adz-Dzahabi rahimahullah
dalam kitab Mizânul I’tidâl,
2/545, “Diantara hadits-hadits mungkarnya adalah ….. (kemudian beliau rahimahullah membawakan
hadits di atas)
Ada juga hadits dha’if lainnya yang bertentangan
dengan hadits dha’if di atas yaitu:
“Dari Ibnu Umar Radhiyallahu
‘anhuma, beliau Radhiyallahu ‘anhuma mengatakan, “Sesungguhnya Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam telah bersabda tentang qadha’ Ramadhân, ‘Jika ia mau, dia
bisa mengqadha’nya dengan dipisah-pisah (selang-seling) dan jika dia mau, dia
juga bisa mengqadha’nya secara beturut-turut (tanpa diselang-seling)”.
Hadits
ini dha’if. Hadits ini diriwayatkan oleh Daru Quthni rahimahullah,
2/193 lewat jalur periwayatan Sufyân bin Bisyr, ia mengatakan, ‘Kami telah
diberitahu oleh Ali bin Mishar dari Ubaidullah bin Umar dari Nâfi’ dari Ibnu
Umar Radhiyallahu ‘anhuma, dia mengatakan: (seperti hadits di atas)
Sebatas yang saya
ketahui, sanad hadits ini dha’if
karena Sufyaan bin Bisyr adalah seorang perawi yang majhûl, sebagaimana telah ditegaskan oleh Syaikh al-Albâni
rahimahullah, karena beliau rahimahullah tidak mendapatkan riwayat hidupnya.
Kemudian syaikh al-Albâni rahimahullah mengatakan, “Ringkasnya, tidak ada satu
pun hadits marfu’ yang sah yang
menerangkan (mengqadha’ shaum Ramadhân) dengan selang-seling dan tidak juga
berturut-turut. Pendapat yang lebih dekat (kepada kebenaran) ialah boleh
mengqadha’ dengan cara keduanya, sebagaimana pendapat Abu Hurairah Radhiyallahu
‘anhu. [Lihat Irwâ’ul Ghalîl,
4/97]
Artikel
almanhaj.or.id memetik: mengganti puasa
“Barangsiapa yang
memiliki tanggungan shaum (puasa) Ramadhân, maka hendaknya dia mengqadha’nya
dengan cara berturut-turut dan tidak diputus-putus (selang-seling)”.
Hadits ini dha’if.
Hadits ini diriwayatkan oleh Daru Quthni rahimahullah dalam sunannya, 2/191-192 dan
al-Baihaqi dalam sunan beliau,
2/259 lewat jalur Abdurrahman bin Ibrahim al Qâsh dari ‘Alâ bin
Abdurrahman dari bapaknya dari Abu Hurairah (ia mengatakan), Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: (seperti hadits diatas).
Sanad hadits ini dha’if (lemah), karena Abdurrahman bin
Ibrahim al Qâsh adalah seorang rawi yang dha’if
(lemah).
Ad-Daaru Quthni
rahimahullah mengatakan, “Abdurrahman bin Ibrahim al Qâsh adalah dha’îful hadîts (orang yang haditsnya
lemah).”
Al Hâfizh Ibnu Hajar
rahimahullah dalam
kitabnya Talkhishul Habîr ,2/260, no. 920 mengatakan, “Ibnu Abil
Hâtim rahimahullah telah menerangkan bahwa bapaknya iaitu Abu Hâtim telah mengingkari hadits ini
karena ada Abdurrahman.”
Al-Baihaqi rahimahullah
mengatakan, “Dia (Abdurrahman bin Ibrahim al Qâsh) telah dinilai lemah oleh Ibnu Ma’in rahimahullah,
Nasa’i rahimahullah dan Daru Quthni rahimahullah.”
Adz-Dzahabi
rahimahullah dalam
kitab Mizânul I’tidâl, 2/545, “Diantara hadits-hadits
mungkarnya adalah ….. (kemudian beliau rahimahullah membawakan hadits di atas)
Ada juga hadits dha’if lainnya yang bertentangan dengan
hadits dha’if di atas yaitu: “Dari
Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma, beliau Radhiyallahu ‘anhuma mengatakan,
“Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda tentang qadha’
Ramadhân, ‘Jika ia mau, dia bisa mengqadha’nya dengan dipisah-pisah
(selang-seling) dan jika dia mau, dia juga bisa mengqadha’nya secara
beturut-turut (tanpa diselang-seling)”.
Hadits ini dha’if. Hadits ini diriwayatkan oleh
Daru Quthni rahimahullah, 2/193 lewat jalur periwayatan Sufyân bin Bisyr, ia
mengatakan, ‘Kami telah diberitahu oleh Ali bin Mishar dari Ubaidullah bin Umar
dari Nâfi’ dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma, dia mengatakan: (seperti hadits
di atas)
Sebatas yang saya
ketahui, sanad hadits ini dha’if
karena Sufyaan bin Bisyr adalah seorang perawi yang majhûl, sebagaimana telah ditegaskan oleh Syaikh al-Albâni
rahimahullah, karena beliau rahimahullah tidak mendapatkan riwayat hidupnya.
Kemudian syaikh al-Albâni rahimahullah mengatakan, “Ringkasnya, tidak ada satu
pun hadits marfu’ yang sah yang
menerangkan (mengqadha’ shaum Ramadhân) dengan selang-seling dan tidak juga
berturut-turut. Pendapat yang lebih dekat (kepada kebenaran) ialah boleh
mengqadha’ dengan cara keduanya, sebagaimana pendapat Abu Hurairah Radhiyallahu
‘anhu. [Lihat Irwâ’ul Ghalîl, 4/97]
Artikel
3 belajarislam.com memetik: Menganti puasa
Dari Abu Hurairah
radhiyallohu anhu berkata: Rasulullah shallallohu alaihi wasallam bersabda:
“Barangsiapa yang berbuka sehari di bulan Ramadhan tanpa adanya rukhshah
(keringanan/udzur yang dibenarkan syariat) dan tidak pula karena sakit maka dia
tidak bisa mengqadha (mengganti utang puasa tersebut) walaupun dia berpuasa
setahun penuh” [ HR. Tirmidzi (723), Abu Daud (2396), Ibnu Majah (1672), Ahmad
(8787) dan Darimi (1666)]
Penjelasan:
Hadits
ini lemah;
Imam Bukhari telah
meriwayatkannya secara mu’allaq dengan sighah tamridh (bentuk periwayatan yang
menunjukkan adanya kelemahan pada hadits).
Imam Tirmidzi mengatakan:
Saya telah mendengar Muhammad (yaitu Imam Bukhari) berkata: Abul Muthawwis
namanya adalah Yazid bin Al Muthawwis, dan saya tidak mengenalinya kecuali pada
hadits ini.
Imam Ibnu Hibban
mengatakan tidak boleh berhujjah dengan riwayatnya yang dia bersendirian
padanya.
Al Hafizh Ibnu Hajar menilainya sebagai
seorang yang layyinul hadits
(haditsnya lembek), beliau menyebutkan dua ‘illah (cacat) lain dari hadits ini
yaitu adanya ikhtilaf yang banyak dalam periwayatan Habib bin Abu Tsabit
berarti haditsnya mudhtharib (guncang) kemudian ‘illah yang ketiga para ulama
meragukan apakah Muthawwis memdengarkan langsung dari Abu Hurairah radhiyallohu
anhu atau tidak.
Hadits ini telah
dilemahkan pula oleh Al ‘Allamah Al Albani rahimahullah dalam beberapa kitab
beliau diantaranya: Dhoif Sunan Abi Daud (517), Dhoif Al Jami’ Ash Shogir
(5642) dan dalam takhrij Al Misykah (1/626 no. 2013)
Adapun makna dari
hadits ini maka sebagian ulama berpegang padanya seperti Ali bin Abi Tholib,
Abdullah bin Mas’ud dan Abu Hurairah radhiyallohu anhum dimana mereka
mengatakan bahwa orang yang berbuka dengan sengaja tidak diterima puasa
qadha’nya walaupun dia membayarnya sepanjang tahun, ulama salaf lainnya seperti
Said bin Musayyib, Said bin Jubair dan Qatadah tetap membolehkan mengqadha’
puasanya sesuai dengan jumlah hari yang ditinggalkannya tentu saja diiringi
dengan taubat yang nasuha. Wallohu A’lam [ Lihat: Tuhfatul Ahwadzi (3/341) dan
Aunul Ma’bud (7/21)]
Hadis 18: Kebebasan
dari azab
Artikel
4 darussalaf.or.id memetik: AZAB
“Ketika
malam pertama bulan Ramadhan, Allah melihat makhluknya, ketika Allah melihat
kepada seorang hamba, maka Dia tidak akan mengadzabnya selamanya, dan Allah
‘azza wajalla pada setiap harinya memiliki seribu hamba yang dibebaskan dari neraka.” [3]
Hadits ini adalah
hadits yang didustakan atas nama
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam (palsu).
Di dalam sanadnya
banyak rawi yang majhul (tidak
dikenal) dan rawi yang dituduh berdusta yaitu ‘Utsman bin ‘Abdillah Al-Qurasyi
Al-Umawi Asy-Syami yang dikatakan oleh para ulama di antaranya:
Al-Juzajani menyatakan
bahwa dia adalah kadzdzab
(pendusta), suka mencuri hadits.
Abu Mas’ud As-Sijzi
menyatakan dia adalah kadzdzab.
Ibnul Jauzi dalam Al-Maudhu’at [II/104], Ibnu
‘Arraq dalam Tanzihusy
Syari’ah [II/146], Asy-Syaukani dalam
Al-Fawa’id Al-Majmu’ah [hal. 85], dan yang lainnya menghukumi
hadits ini sebagai hadits palsu,
didustakan atas nama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Lihat Lisanul Mizan [V/147] karya Ibnu
Hajar.
Hadis 19: 5 perangai
Artikel
6 darussalaf.or.id memetik: Bau mulut
“Umatku ini pada bulan Ramadhan diberi lima
perangai yang tidak diberikan kepada umat sebelumnya: (1) Bau mulut orang yang
berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada aroma misk, (2) Ikan-ikan
memintakan ampun untuk mereka sampai berbuka …”
Ini adalah hadits dha’if jiddan (sangat lemah).
Dikeluarkan oleh Ahmad dalam Musnadnya [II/292, 310],
Al-Harits bin Usamah dalam
Musnadnya [I/410], dan selain keduanya.
Di salam sanadnya
terdapat rawi yang bernama Hisyam bin Ziyad bin Abi Zaid yang dikatakan oleh
Al-Hafizh Ibnu Hajar sebagai matrukul
hadits (ditinggalkan haditnya).
Asy-Syaikh Al-Albani
menghukumi hadits ini sebagai hadits dha’if
jiddan (sangat lemah), sebagaimana dalam Dha’if At-Targhib Wat Tarhib
[586].
Hadis 20: Bercelak.
Artikel 5 belajarislam.com memetik: bercelak
Dari Anas bin Malik
radhiyallohu anhu berkata: “Seseorang datang menghadap Nabi shallallohu alaihi
wasallam seraya berkata “Mataku sedang sakit apakah boleh aku bercelak
sementara aku berpuasa?” Beliau menjawab: “Iya” [HR Tirmidzi (726 )]
Penjelasan:
Imam
Tirmidzi setelah meriwayatkan hadits ini beliau berkata: “Hadits Anas adalah
hadits yang isnadnya tidak kuat dan tidak ada satupun hadits shohih dari Nabi
shallallohu alaihi wasallam dalam masalah ini, pada hadits ini ada rowi Abu
‘Atikah sedangkan dia seorang yang dilemahkan”
Abu Atikah yang
dimaksud adalah Thorif bin Salman dan ada yang mengatakan Salman bin Thorif,
dia telah meriwayatkan hadits dari Anas. Abu Hatim mengatakan tentangnya:
“Dzahibul Hadits” (haditsnya pergi/ditinggalkan). Imam Bukhori mengatakan:
Munkarul Hadits, Nasai mengatakan dia bukan seorang yang tsiqoh (terpercaya).
Daraqutni berkata: dhoif (lemah). Bahkan Sulaimani menyebutkan orang tersebut
sebagai salah satu dari yang dikenal sebagai pemalsu hadits. Adapun Ibnu Hajar
beliau menilai sebagai dhoif dan menganggap hukum yang ditetapkan Sulaimani
berlebihan.
Tirmidzi menuturkan:
“Para ulama telah berbeda pendapat tentang hukum bercelak bagi orang yang
berpuasa; sebagian ulama seperti Sufyan, Ibnu Mubarak, Ahmad dan Ishaq
memakruhkannnya dan sebagian ulama yang lain memberikan keringanan akan
kebolehannya dan ini adalah pendapat Imam Syafi’i”
Dan -Insya Allah-
pendapat Imam Syafi’i inilah yang benar, karena Abu Daud telah meriwayatkan
dalam sunannya dengan sanad yang hasan bahwa Anas radhiyallohu anhu pernah
bercelak pada saat berpuasa. Yang serupa dengan ini hukum tetes mata hal ini
juga tidak mengapa karena mata bukanlah pengantar untuk ke perut. Tetes dan
celak keduanya tidak termasuk makanan dan minuman serta tidak mengambil hukum
keduanya. (Lihat Fatawa Al Lajnah
Ad Daimah 10: 250-253)
Hadis 21: Bersiwak
Artikel 4 belajarislam.com memetik: Bersiwak
Dari ‘Amir bin Rabi’ah radhiyallohu anhu
berkata: “Saya telah melihat Nabi shallallohu alaihi wasallam bersiwak dalam
jumlah yang tidak mampu saya hitung padahal beliau sementara berpuasa” [HR.
Tirmidzi (116), Abu Daud (2634), Daraquthni dan Baihaqi (4/272)]
Penjelasan: Hadits
ini lemah sanadnya; diriwayatkan
oleh para imam yang disebutkan di atas dari jalur ‘Ashim bin Ubaidullah dari
Abdullah bin ‘Amir bin Rabi’ah dari ayahnya. Imam Ad Daraquthni berkata: Ashim
bin Ubaidullah dan selainnya lebih kuat darinya. Baihaqi berkata: Dia bukan seorang yang kuat. Ulama-ulama
lain seperti Ahmad bin Hanbal, Yahya bin Ma’in dan Muhammad bin Sa’ad juga
telah membicarakannya. Bukhari berkata: Munkarul
hadits (haditsnya mungkar). Al Hafizh Ibnu Hajar juga menilainya sebagai seorang yang dhaif.
Namun hal ini tidaklah
berarti bahwa tidak boleh menggunakan siwak pada saat berpuasa. Imam Abu Isa At
Tirmidzi berkata setelah menyebutkan hadits ini: “Makna hadits ini telah
diamalkan oleh para ulama, dimana mereka memandang tidak mengapa seorang yang
berpuasa untuk bersiwak namun demikian ada sebagian ulama yang memakruhkan
bersiwak bagi orang yang berpuasa dengan menggunakan siwak yang beraroma dan
siwak yang basah pada siang hari. Adapun Imam Syafi’i beliau memandang tidak mengapa
bersiwak baik itu pada pagi hari maupun pada siang hari. Imam Ahmad dan Ishaq
telah memakruhkan bersiwak pada waktu siang”
Hadits ini juga telah
diriwayatkan oleh Thabrani sebagaimana yang terdapat dalam At Ta’liq Al Mugni dari
Abdurrahman bin Ghunaim beliau berkata: Saya telah bertanya kepada Muadz bin
Jabal: “Apakah (boleh) saya bersiwak sementara saya berpuasa? Muadz menjawab:
Iya. Aku bertanya lagi: “Kapan aku boleh bersiwak?” Beliau menjawab: “Kapan
saja baik waktu pagi maupun petang”. Saya berkata lagi sesungguhnya sebagian
manusia memakruhkannya dengan beralasan bahwa Rasulullah shallallohu alaihi
wasallam bersabda:
“Sungguh bau mulut orang yang berpuasa
lebih harum di sisi Allah dari bau kesturi”
Beliau (Mu’adz)
berkata: “Maha Suci Allah, beliau telah menyuruh mereka bersiwak karena beliau
tahu bahwa mulut orang yang berpuasa pasti memiliki bau (walaupun telah
bersiwak)”. Al Hafizh Ibnu Hajar dalam
kitabnya At Talkhish Al Habir (2/202 no 908) mengatakan bahwa
riwayat Muadz ini sanadnya baik.
Al Albani rahimahullah dalam buku beliau Al Irwa’ (1/107)
mengatakan setelah beliau menyebut perkataan Syafi’i: “Dan inilah pendapat yang
benar berdasarkan keumuman dalil, seperti hadits yang akan disebutkan selanjutnya
yang menganjurkan bersiwak setiap shalat dan setiap wudhu, pendapat ini pula
yang dipegangi oleh Bukhari dalam kitab Shohinya walaupun beliau mengisyaratkan
akan kelemahan hadis Amir ini”
Hadis 22: Salam Aied
Artikel
11 www.muslim.or.id memetik: Salam Aied “Wa’ilah
berkata, “Aku bertemu dengan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pada hari
Ied, lalu aku berkata: Taqabbalallahu minna wa minka.” Beliau bersabda: “Ya, Taqabbalallahu minna wa minka.”
Hadits ini diriwayatkan
oleh Ibnu Hibban dalam
Al Majruhin (2/319), Al Baihaqi dalam
Sunan-nya (3/319), Adz Dzahabi dalam
Al Muhadzab (3/1246)
Hadits ini didhaifkan oleh Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil Fid Dhuafa (7/524), oleh
Ibnu Qaisirani dalam
Dzakiratul Huffadz (4/1950), oleh Al Albani dalam Silsilah Adh Dhaifah (5666).
Yang benar, ucapan ‘Taqabbalallahu Minna Wa Minka’
diucapkan sebagian sahabat berdasarkan sebuah riwayat: “Para
sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasanya ketika saling
berjumpa di hari aied mereka mengucapkan: Taqabbalallahu
Minna Wa Minka (Semoga Allah menerima amal ibadah saya dan amal ibadah
Anda)”
Atsar ini diriwayatkan
oleh Imam Ahmad dalam
Al Mughni (3/294), dishahihkan oleh Al Albani dalam Tamamul Minnah (354). Oleh
karena itu, boleh mengamalkan ucapan ini, asalkan tidak diyakini sebagai hadits
Nabi shallallahu’alaihi wa sallam.
Hadis
23: Zakat Badan
Artikel almanhaj.or.id memetik: zakat badan
“Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia
mengatakan, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Segala sesuatu
itu ada zakatnya. Zakat badan adalah puasa. Puasa itu separuh kesabaran.” [HR.
Ibnu Mâjah, no. 1745 lewat jalur Musa bin Ubaidah dari Jumhân dari Abu Hurairah
Radhiyallahu ‘anhu]
Sanad hadits ini lemah, karena Musa bin
Ubaidah dinilai haditsnya lemah oleh sekelompok ulama ahli hadits, sebagaimana
dijelaskan dalam kitab Tahdzîb,
10/318-320. Beliau ini seorang yang shalih dan ahli
ibadah, akan tetapi lemah dalam periwayatan hadits.
Al-Hâfizh dalam kitab Taqrîbnya
mengatakan, “Dha’if.”
Hadis
24 Ramadhan bulan kesabaran
Artikel almanhaj.or.id
memetik: bulan kesabaran
Hadits yang sah tentang
hal ini adalah riwayat yang menjelaskan bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda kepada seorang lelaki dari suku Bahilah dalam hadits yang panjang,
dalam hadits yang panjang tesrbut terdapat kalimat:
“Berpuasalah
pada bulan kesabaran yaitu Ramadhân”. [HR Imam Ahmad dengan sanad yang shahih]
Hadits yang lain yaitu
hadits yang diriwayatkan lewat jalur Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang bulan
Ramadhân:
“bulan
kesabaran (Ramadhan)”.
Dikeluarkan oleh Imam
Ahmad rahimahullah (2/263, 384 dan 513), juga dikeluarkan oleh Imam Nasa’i
rahimahullah (3/218-219). Dan hadits lain lewat jalur periwayatan a’rabiyûn
sebagaimana dalam
Majma’uz Zawâid (3/196) oleh al Haitsami rahimahullah.
Artikel 2 almanhaj.or.id
memetik: Puasa itu kesabaran dan kesucian
“Puasa itu setengah kesabaran dan kesucian itu setengahnya
iman”.
Dhaif.
Hadits ini diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, no. 3519 dalam Kitab ad-Dâ’awât, juga
diriwayatkan oleh imam Ahmad dalam
Musnad beliau rahimahullah (4/260 dan 5/363) lewat jalur
periwayatan Juraisy an-Nahdy dari seorang laki-laki bani (suku) Sulaim.
Sanad hadits ini dha’if, karena Juraisy bin Kulaib ini
adalah seorang yang majhûl
(tidak dikenal), sebagaimana dikatakan oleh Imam Ibnul Madini rahimahullah (lihat, Tahdzîbut Tahdzîb, 2/78 karya Ibnu
Hajar rahimahullah).
RUJUKAN:
1.
https://muslim.or.id/1334-12-hadits-lemah-dan-palsu-seputar-ramadhan.html
Yulian Purnama, Muraja’ah: Ustadz Abu Ukkasyah Aris Munandar 22 July 2010
3.
https://www.facebook.com/DrRozaimiRamle/posts/doa-malaikat-jibril-menjelang-ramadhan-sahihkahhadis-ini-sahih-tak-doa-jibrail-m/1310389525655211/, Dr.
Ustaz Rozaimi Ramle – Hadith 5 June 2016
4.
https://almanhaj.or.id /3950-hadits-hadits-dhaif-maudhu-yang-banyak-beredar-pada-bulan-ramadhan.html Oleh Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat, 30
June 2014 in category Fiqih : Puasa
5.
http://tajdid-dakwah.blogspot.com /2010/08/hadith-palsu-tentang-doa-malaikat.html,
12
August 2010,Hadith PALSU tentang Do'a malaikat Jibril menjelang Ramadhan...
6.
https://darussalaf.or.id /hadits-hadits-palsu-dan-lemah-yang-sering-disebut-di-bulan-ramadhan/, Abu
Zur’ah Sulaiman bin ‘Ali bin Syihab As-Salafy. 15/09/2012
7.
http://isma.org. my/v2/amalan-bermaafan-sebelum-tiba-ramadhan-mubarak/,
Ustaz
Abdul Rahman (AL-RAIS), May 25, 2017
Tiada ulasan:
Catat Ulasan